JAKARTA - Dalam hubungan sehari-hari, tidak semua bentuk manipulasi terlihat jelas. Salah satu yang sering tidak disadari adalah gaslighting, yaitu strategi psikologis berbahaya yang dapat membuat korban merasa bingung, ragu pada diri sendiri, bahkan mempertanyakan kewarasan.
Psikolog klinis Sari Chait, Ph.D., menjelaskan bahwa gaslighting kerap dimanfaatkan untuk menguasai orang lain. “Gaslighting dimanfaatkan sebagai cara untuk mendapatkan atau mempertahankan kendali atas orang lain,” kata Chait, Kamis, 18 September 2025. Artinya, pelaku sengaja menciptakan keraguan agar korban merasa salah, sehingga lebih mudah dikendalikan.
Mengapa Gaslighting Sulit Disadari?
Gaslighting bukan sekadar konflik biasa. Dalam praktiknya, pelaku mampu memanipulasi persepsi korban hingga korban kehilangan pegangan pada kenyataan. Perilaku ini sering muncul secara halus, namun dilakukan berulang kali, sehingga efeknya sangat merusak.
Korban biasanya tidak langsung menyadari. Awalnya mereka hanya merasa tidak percaya diri atau menganggap dirinya terlalu sensitif. Namun lama-kelamaan, perasaan tersebut berubah menjadi kebingungan yang mendalam. Inilah alasan mengapa gaslighting dianggap sangat berbahaya: ia menghancurkan keyakinan korban terhadap diri sendiri.
Sepuluh Perilaku Gaslighting yang Harus Diwaspadai
Meminimalkan atau mengabaikan perasaan
Gaslighter sering meremehkan emosi korban dengan ucapan seperti, “Kamu terlalu sensitif,” atau “Itu cuma bercanda.” Menurut Michele Leno, Ph.D., perilaku ini melelahkan secara emosional karena membuat korban merasa tidak cukup meski sudah berusaha keras.
Berbohong dan memutarbalikkan fakta
Pelaku gaslighting bisa menyangkal kejadian nyata. Mereka mengatakan, “Itu tidak pernah terjadi,” meski ada bukti. Kebohongan berulang ini membuat korban meragukan ingatannya sendiri.
Menghindari tanggung jawab
Alih-alih mengakui kesalahan, pelaku menuduh korban sebagai penyebab masalah. Erin Wiley, M.A., L.P.C.C., menyebut strategi ini menumbuhkan rasa bersalah yang tidak seharusnya ditanggung korban.
Mengubah cerita atau sejarah
Gaslighter kerap memelintir detail peristiwa agar tampak menguntungkan dirinya. Misalnya, saat mendorong pasangan hingga jatuh, mereka bisa berkata, “Aku justru menahanmu supaya tidak jatuh.”
Membuat korban terisolasi
Pelaku bisa memutus akses korban dengan orang-orang terdekat, membuat mereka semakin bergantung pada pelaku. Wiley menjelaskan, tanpa dukungan sosial, korban sulit melihat kenyataan yang sebenarnya.
Mengalihkan topik pembicaraan
Ketika dikonfrontasi, gaslighter sering mengganti topik atau balik bertanya. Hal ini membuat korban merasa percuma melanjutkan diskusi, hingga akhirnya memilih diam.
Menyalahkan korban
Blame-shifting atau menyalahkan korban menjadi strategi umum. Pelaku berkata, “Kalau kamu tidak bikin aku marah, aku enggak akan begitu.” Padahal, kesalahan tetap ada pada pelaku.
Menggunakan kata-kata manis sebagai senjata
Janji manis seperti “Aku sayang kamu, aku enggak akan menyakitimu” sering dilontarkan untuk menenangkan korban. Namun, perilaku toksik tetap berulang.
Menyebarkan gosip dan merusak reputasi
Pelaku tidak selalu menyerang langsung. Mereka bisa menyebarkan gosip agar korban terlihat buruk di mata orang lain, bahkan membuat seakan-akan semua orang berpikir negatif tentang korban.
Membuat korban meragukan diri sendiri
Inilah dampak paling serius. Chait menegaskan bahwa korban bisa kehilangan kepercayaan pada insting dan pikiran mereka sendiri setelah terus-menerus menerima perlakuan gaslighting.
Dampak Gaslighting pada Kesehatan Mental
Gaslighting yang terus berlangsung dapat merusak kepercayaan diri dan kestabilan emosional. Korban bisa merasa tidak layak, bingung membedakan kebenaran, bahkan kehilangan arah dalam mengambil keputusan.
Beberapa efek psikologis yang umum muncul antara lain kecemasan, depresi, stres berkepanjangan, hingga trauma emosional. Dalam jangka panjang, korban mungkin kesulitan membangun hubungan sehat karena rasa percaya dirinya sudah hancur.
Lebih parah lagi, gaslighting dapat membuat korban merasa seolah tidak punya siapa-siapa. Ketika dukungan sosial diputus, mereka hanya bergantung pada pelaku. Kondisi ini memperkuat siklus manipulasi, membuat korban semakin sulit keluar dari lingkaran toksik.
Bagaimana Melindungi Diri dari Gaslighting?
Langkah pertama adalah menyadari tanda-tandanya. Jika sering merasa bingung, bersalah tanpa alasan jelas, atau terus-menerus meragukan diri sendiri setelah berinteraksi dengan seseorang, bisa jadi ada gaslighting yang sedang terjadi.
Penting juga untuk mencatat kejadian yang dirasa janggal. Dengan catatan ini, korban dapat memiliki bukti nyata sehingga tidak mudah dikelabui. Selain itu, berbicara dengan orang terpercaya, seperti teman dekat atau keluarga, bisa membantu melihat situasi lebih objektif.
Jika kondisi semakin berat, mencari bantuan profesional menjadi pilihan terbaik. Psikolog atau konselor dapat membantu korban memahami apa yang sedang dialami dan menyusun strategi keluar dari hubungan manipulatif.
Gaslighting bukan sekadar perbedaan pendapat dalam hubungan. Ia adalah bentuk manipulasi yang sistematis, yang perlahan mengikis kepercayaan diri dan kewarasan korban. Dengan mengenali tandanya, kita bisa melindungi diri sendiri maupun orang lain dari bahaya yang lebih besar.
Seperti ditegaskan Sari Chait, gaslighting adalah alat untuk menguasai orang lain. Oleh karena itu, kesadaran, dukungan sosial, dan keberanian untuk mencari bantuan menjadi kunci utama agar korban tidak terjebak lebih lama dalam siklus manipulasi berbahaya ini.