Harga Minyak Dunia Merosot Akibat Sentimen Ekonomi Global

Kamis, 02 Oktober 2025 | 08:01:39 WIB
Harga Minyak Dunia Merosot Akibat Sentimen Ekonomi Global

JAKARTA - Ketidakpastian ekonomi global kembali menekan harga minyak mentah dunia pada awal Oktober 2025. Sentimen negatif datang dari berbagai arah, mulai dari shutdown pemerintah Amerika Serikat (AS), lonjakan stok minyak tak terduga, hingga kekhawatiran melemahnya permintaan energi di Asia maupun pasar internasional.

Kondisi ini membuat harga minyak mentah Brent dan West Texas Intermediate (WTI) jatuh ke level terendah dalam beberapa bulan terakhir. Para pelaku pasar semakin cemas dengan kombinasi faktor politik, ekonomi, serta prospek produksi dari negara-negara anggota OPEC+.

Minyak Brent dan WTI Sentuh Level Terendah

Pada Kamis, 2 Oktober 2025, harga minyak berjangka Brent turun 68 sen atau sekitar 1 persen menjadi US$65,35 per barel. Angka ini menjadi level terendah sejak 5 Juni lalu. Sementara itu, minyak jenis WTI dari AS melemah 59 sen atau 0,9 persen ke posisi US$61,78 per barel, posisi terendah sejak 30 Mei.

Penurunan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan produsen. CEO Diamondback Energy, salah satu perusahaan minyak besar AS, memperingatkan bahwa produksi domestik bisa melambat jika harga terus bertahan di kisaran US$60 per barel. Pada level tersebut, jumlah lokasi pengeboran yang dianggap menguntungkan akan semakin sedikit.

Selain minyak mentah, kontrak bensin berjangka AS juga jatuh hingga ke level terendah dalam hampir satu tahun terakhir. Hal ini semakin mempertegas pelemahan permintaan energi di pasar terbesar dunia.

OPEC+ dan Prospek Produksi Minyak

Pasar minyak kini menunggu langkah selanjutnya dari OPEC+. Beberapa analis memperkirakan kartel produsen minyak tersebut akan kembali menaikkan produksi pada November 2025. Menurut analis Rystad, Janiv Shah, peningkatan bisa mencapai 500.000 barel per hari (bph), jumlah yang sama seperti kenaikan pada September.

Tiga sumber yang mengetahui pembahasan internal OPEC+ menyebutkan, kemungkinan besar penambahan produksi pada November bisa lebih besar, yakni hingga 500.000 bph. Jumlah itu tiga kali lipat lebih tinggi dari kenaikan bulan Oktober. Langkah ini disebut sebagai strategi Arab Saudi untuk merebut kembali pangsa pasar minyak global.

Namun, OPEC membantah kabar tersebut melalui pernyataan resmi. Kartel minyak itu menegaskan laporan media yang menyebutkan adanya rencana kenaikan produksi besar-besaran adalah menyesatkan. Dalam pertemuan panel teknis, OPEC+ justru menekankan pentingnya kepatuhan penuh setiap anggota terhadap kesepakatan produksi yang sudah berlaku.

Sejumlah anggota OPEC bahkan diwajibkan melakukan pemangkasan tambahan sebagai kompensasi karena sebelumnya melampaui kuota yang disepakati.

Lonjakan Stok Minyak AS

Harga minyak dunia juga tertekan oleh data terbaru dari Amerika Serikat. Badan Informasi Energi AS (EIA) melaporkan adanya lonjakan stok minyak mentah sebesar 1,8 juta barel untuk pekan yang berakhir 26 September. Angka ini jauh di atas perkiraan pasar yang hanya 1 juta barel.

Ironisnya, sehari sebelumnya American Petroleum Institute (API) justru melaporkan penurunan persediaan hingga 3,7 juta barel. Perbedaan ini menimbulkan kejutan baru di pasar.

Phil Flynn, analis senior Price Futures Group, menjelaskan kenaikan stok tersebut terjadi akibat turunnya ekspor minyak. “Stok minyak naik akibat turunnya ekspor, yang bisa menjadi sinyal lemahnya permintaan. Ditambah lagi, shutdown pemerintah AS semakin memperkuat kekhawatiran perlambatan ekonomi dan permintaan energi,” ujarnya.

Shutdown Pemerintah AS

Situasi semakin rumit karena pada Rabu, 1 Oktober 2025, pemerintah AS resmi mengalami shutdown. Kebuntuan politik antara Kongres dan Gedung Putih menggagalkan tercapainya kesepakatan pendanaan. Kondisi ini berpotensi menghambat publikasi sejumlah data ekonomi penting, termasuk laporan ketenagakerjaan September.

Gedung Putih telah memperingatkan kemungkinan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal bila shutdown berlangsung lebih lama. Namun, Wakil Presiden JD Vance menegaskan hingga kini belum ada keputusan final mengenai hal itu.

Aktivitas manufaktur di AS sendiri hanya mencatat kenaikan tipis pada September. Akan tetapi, pesanan baru dan sektor tenaga kerja masih menunjukkan kelemahan, diperburuk dengan dampak tarif impor luas yang diberlakukan oleh Presiden Donald Trump.

Sentimen dari Asia dan Rusia

Di Asia, kawasan konsumen minyak terbesar dunia, data manufaktur menunjukkan kontraksi pada sejumlah ekonomi utama sepanjang September. Hal ini memperkuat pandangan bahwa permintaan energi global masih lemah.

Sementara itu, pasar juga mencermati kondisi pasokan dari Rusia yang sempat terganggu akibat serangan Ukraina. Wakil Perdana Menteri Rusia, Alexander Novak, mengatakan pasokan energi dalam negeri masih relatif terkendali meskipun beberapa wilayah mengalami kekurangan bahan bakar.

Ekspor minyak Rusia dari tiga pelabuhan utama dilaporkan melonjak 25 persen pada September dibandingkan bulan sebelumnya. Lonjakan ini terjadi setelah serangan drone Ukraina memaksa penghentian sementara beberapa kilang, sehingga lebih banyak pasokan mentah dialihkan untuk ekspor.

Ekspor Venezuela Mencapai Rekor Baru

Faktor lain yang ikut menambah tekanan di pasar adalah kembalinya pasokan minyak dari Venezuela. Negara anggota OPEC yang masih berada di bawah sanksi AS itu mencatat ekspor rata-rata 1,09 juta bph sepanjang September. Angka tersebut menjadi yang tertinggi sejak Februari 2020.

Data pelayaran dan dokumen perusahaan minyak negara PDVSA menunjukkan kenaikan ini memberikan tambahan suplai di pasar internasional yang sudah menghadapi kelebihan pasokan.

Ringkasan Kondisi Pasar Energi

Kombinasi berbagai faktor global kini membuat harga minyak terus tertekan. Dari sisi permintaan, perlambatan ekonomi AS dan Asia menjadi pemicu utama. Dari sisi pasokan, lonjakan stok minyak mentah AS, rencana produksi OPEC+, hingga tambahan ekspor dari Rusia dan Venezuela menambah beban harga.

Meski demikian, pasar minyak masih menunggu kepastian arah kebijakan dari OPEC+ dan perkembangan politik di AS. Jika shutdown berlangsung lebih lama, bukan tidak mungkin dampak ekonomi akan semakin luas dan menyeret harga minyak ke level yang lebih rendah lagi.

Terkini