Hotel di Kyoto Minta Turis Israel Teken Pernyataan Anti-Kejahatan Perang, Israel Protes ke Pemerintah Jepang

Jumat, 02 Mei 2025 | 12:35:41 WIB
Hotel di Kyoto Minta Turis Israel Teken Pernyataan Anti-Kejahatan Perang, Israel Protes ke Pemerintah Jepang

JAKARTA - Seorang turis asal Israel mengungkapkan pengalaman tidak biasa saat hendak menginap di sebuah hotel di Kyoto, Jepang. Ia diminta menandatangani dokumen yang menyatakan dirinya tidak pernah terlibat dalam kejahatan perang sebelum diizinkan untuk check-in. Kebijakan ini disebut-sebut berlaku khusus bagi tamu asal Israel dan Rusia, menimbulkan reaksi keras dari Pemerintah Israel yang menyebut tindakan tersebut diskriminatif dan tidak dapat diterima.

Insiden ini pertama kali dilaporkan oleh kantor berita Anadolu dan dikutip CNN Indonesia. Turis tersebut mengatakan, ia diberi formulir oleh staf hotel tak lama setelah menunjukkan paspor Israel di meja resepsionis. Dalam formulir tersebut, ia diminta menyatakan secara tertulis bahwa dirinya tidak pernah melakukan kejahatan perang dalam bentuk apapun.

"Saya diberi formulir itu dan diberi tahu bahwa jika saya tidak menandatanganinya, saya tidak akan diizinkan menginap," ujar turis yang disebut pernah bertugas sebagai tenaga medis cadangan di Angkatan Laut Israel itu kepada Anadolu.

Formulir yang disodorkan pihak hotel memuat deklarasi bahwa tamu bersangkutan tidak pernah melakukan kejahatan perang, termasuk tetapi tidak terbatas pada pemerkosaan, pembunuhan terhadap orang yang sudah menyerah, penyiksaan, dan serangan terhadap warga sipil seperti perempuan dan anak-anak. Dokumen itu juga mencantumkan referensi kepada Pasal 8 Statuta Roma Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC), yang merinci jenis-jenis kejahatan perang dalam hukum internasional.

“Saya tidak pernah terlibat dalam kejahatan perang dalam bentuk apa pun,” begitu bunyi pernyataan dalam dokumen yang diminta untuk ditandatangani oleh tamu tersebut.

Setelah awalnya menolak, sang turis akhirnya menandatangani dokumen tersebut. Pihak hotel menyatakan bahwa aturan itu berlaku secara eksklusif bagi turis berkewarganegaraan Israel dan Rusia, bukan bagi pengunjung dari negara lain. Kebijakan ini sontak menuai kontroversi, apalagi diterapkan secara selektif terhadap negara tertentu.

Dokumen tersebut juga menyatakan bahwa tamu tidak pernah memerintahkan, membantu, atau mendorong terjadinya kejahatan perang, serta berjanji untuk menghormati hukum internasional dan hukum humaniter selama masa tinggal mereka di Jepang.

Pemerintah Israel Protes Keras

Menanggapi insiden ini, Duta Besar Israel untuk Jepang, Gilad Cohen, melayangkan surat resmi kepada Gubernur Prefektur Kyoto, Takatoshi Nishiwaki. Dalam surat tersebut, Cohen menyatakan bahwa kebijakan tersebut tidak bisa dibenarkan dan bertentangan dengan semangat toleransi serta penerimaan yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat Jepang.

"Tindakan ini tidak dapat diterima dan mencederai semangat kemanusiaan serta prinsip non-diskriminasi," tegas Cohen.

Namun, manajemen hotel di Kyoto justru membela keputusan mereka. Dalam pernyataan kepada Ynetnews, manajer hotel menyebut bahwa permintaan penandatanganan formulir anti-kejahatan perang merupakan langkah preventif yang wajar. Ia mengklaim bahwa tindakan tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa hotel tidak menjadi tempat perlindungan bagi pelaku kejahatan berat di masa lalu.

"Bagi kami, perang terasa sangat jauh. Kami belum pernah bertemu seseorang yang membunuh anak-anak dan wanita, atau membom sekolah," ujar manajer hotel tersebut.

Bukan Kasus Pertama

Kasus seperti ini ternyata bukan pertama kalinya terjadi di Kyoto. Pada Juni tahun lalu, sebuah hotel lain di kota yang sama dilaporkan menerapkan kebijakan serupa. Hotel tersebut juga mewajibkan tamu asal Israel dan Rusia menandatangani pernyataan yang menyatakan bahwa mereka tidak terlibat dalam kejahatan perang.

Pengamat menyebut bahwa kebijakan ini mencerminkan meningkatnya ketegangan terhadap warga negara Israel di tengah eskalasi konflik di Jalur Gaza. Sejak 7 Oktober 2023, konflik militer antara Israel dan kelompok Hamas di Gaza telah menewaskan lebih dari 50.000 orang, sebagian besar merupakan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.

Dalam perkembangan terbaru, Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) sedang menyidangkan kasus genosida yang diajukan terhadap Israel oleh sejumlah negara, dengan tuduhan bahwa militer Israel telah melakukan tindakan yang melanggar Konvensi Genosida PBB. Selain itu, Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) juga telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan keterlibatan dalam kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Respons Global dan Etika Hotel

Kasus di Kyoto memunculkan diskusi luas mengenai etika dalam industri perhotelan dan hak-hak tamu asing. Beberapa pihak menyebut bahwa langkah hotel tersebut, meski dimaksudkan sebagai bentuk kehati-hatian, tetap dianggap sebagai tindakan diskriminatif yang melanggar prinsip-prinsip hukum internasional tentang non-diskriminasi dan perlindungan terhadap warga sipil.

Pakar hukum internasional juga mempertanyakan keabsahan tindakan seperti itu dari sisi legalitas. Mereka menyebut bahwa tidak ada dasar hukum di Jepang yang mewajibkan hotel untuk menilai latar belakang tamunya berdasarkan dugaan kejahatan perang, kecuali jika ada putusan pengadilan internasional yang resmi.

Sementara itu, komunitas diaspora Yahudi di Jepang menyatakan keprihatinan atas kejadian tersebut. Mereka berharap agar pemerintah Jepang dapat memberikan pedoman lebih jelas kepada pelaku industri perhotelan untuk menghindari kebijakan yang bisa memicu diskriminasi atau ketegangan antarwarga negara asing.

Kejadian ini menjadi sorotan tidak hanya di Jepang dan Israel, tetapi juga secara internasional, mengingat implikasinya terhadap hubungan diplomatik, hak asasi manusia, dan perlakuan terhadap warga sipil dalam situasi geopolitik yang sensitif. Pemerintah Jepang sendiri belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait insiden tersebut. Namun, para diplomat dan pemangku kepentingan menilai pentingnya dialog terbuka untuk memastikan bahwa tindakan-tindakan preventif yang diambil tidak berubah menjadi praktik diskriminatif yang justru bertentangan dengan prinsip-prinsip universal tentang keadilan dan kesetaraan.

Terkini