JAKARTA - Di tengah gegap gempita dunia pendidikan yang terus mengusung semangat merdeka belajar, masih ada kelompok yang seolah ditinggalkan: siswa penyandang disabilitas. Alih-alih mendapat ruang yang setara untuk berkembang, mereka justru kerap terjebak dalam sistem yang tidak ramah, kaku, dan nyaris tuli terhadap kebutuhan mereka. Pertanyaannya kini, mungkinkah pendidikan benar-benar inklusif di Indonesia, ataukah itu hanya mimpi panjang yang tertulis dalam kebijakan namun tak kunjung menjadi nyata?
Sistem Pendidikan Masih Abai Terhadap Realitas Difabel
Bayangkan seorang anak tuli duduk di kelas umum. Ia mencoba membaca gerak bibir gurunya yang bicara tanpa isyarat, sementara materi terus melaju. Ia hadir secara fisik, tapi tak benar-benar terlibat. Ini bukan fiksi. Inilah kenyataan yang dihadapi oleh ribuan siswa difabel di Indonesia setiap hari. Ruang belajar dibangun dengan standar "normal", yang tidak mempertimbangkan keberagaman kondisi fisik dan kognitif siswa.
Konsep "normal" dalam sistem pendidikan, seperti bisa duduk diam selama enam jam, mengikuti pelajaran secara audio-visual, atau mampu memahami materi abstrak dalam tempo cepat, menciptakan eksklusi sistemik bagi mereka yang memiliki kebutuhan berbeda. Akibatnya, siswa difabel tak hanya mengalami ketertinggalan akademik, tapi juga pengucilan psikologis.
"Standar normal justru menjadi standar yang membungkam. Ia menyingkirkan mereka yang tidak sesuai, bukan karena mereka tidak mampu, tapi karena sistem tidak pernah dirancang untuk mereka," ujar seorang pemerhati pendidikan inklusif.
Pendidikan Inklusif: Antara Definisi dan Realisasi
Secara konsep, pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai pendekatan yang memungkinkan semua anak, dengan atau tanpa disabilitas, belajar bersama dalam satu ruang yang sama. Namun, dalam praktiknya, inklusif kerap hanya dimaknai sebatas “memasukkan anak difabel ke sekolah umum”.
Padahal, menurut Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Menengah dan Khusus Kemdikbudristek, pendidikan inklusif tidak berhenti pada keberadaan fisik siswa difabel di ruang kelas umum. "Yang kita butuhkan bukan hanya integrasi fisik, tapi transformasi sistem. Inklusi bukan soal tempat, tapi soal pendekatan," jelasnya dalam sebuah forum diskusi publik.
Namun data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) justru mengungkap ironi. Hanya sekitar 18% guru di sekolah umum yang pernah mendapatkan pelatihan tentang pendidikan inklusif. Artinya, mayoritas pendidik masih mengajar dengan metode seragam yang mengabaikan perbedaan kemampuan dan gaya belajar siswa.
Kekurangan Data Mengaburkan Realita
Ketiadaan data yang spesifik dan rinci tentang siswa difabel juga menjadi penghalang besar dalam menyusun kebijakan yang akurat dan berpihak. Laporan tahunan pendidikan nasional jarang sekali menyertakan rincian jumlah siswa difabel berdasarkan jenis disabilitas, tingkat pendidikan, hambatan belajar, hingga akses alat bantu yang tersedia di sekolah.
Akibatnya, banyak intervensi pemerintah yang tidak tepat sasaran. Bantuan berupa alat bantu dengar, misalnya, bisa saja dikirim ke sekolah dengan siswa difabel dominan motorik, bukan sensorik. Ini bukan hanya pemborosan sumber daya, tapi juga mencerminkan ketidakhadiran suara siswa difabel dalam proses perencanaan kebijakan pendidikan nasional.
"Pendidikan yang berpijak pada data semu hanya akan menghasilkan solusi semu," ujar salah satu anggota Koalisi Pendidikan Inklusif Indonesia. Ia menambahkan bahwa invisibilitas difabel dalam data resmi turut memperkuat stigmatisasi bahwa mereka adalah kelompok marjinal yang tidak terlalu penting untuk diperhitungkan.
Kekerasan Tersembunyi di Ruang Kelas
Kekerasan terhadap siswa difabel tidak selalu hadir dalam bentuk fisik. Ia bisa berbentuk komentar ringan yang menyakitkan, atau sikap tak sabar guru saat harus mengulang penjelasan. “Kamu kok nggak bisa-bisa sih?” adalah kalimat yang seringkali lebih menyakitkan daripada perlakuan kasar.
Kondisi ini menyebabkan trauma mental jangka panjang. Anak difabel kehilangan rasa percaya diri, merasa tak layak berada di kelas, dan akhirnya memilih menyerah pada sistem yang terus-menerus gagal memahami mereka.
"Pendidikan seharusnya menjadi ruang aman, bukan ruang penghakiman. Tapi realitanya, siswa difabel seringkali harus membungkam dirinya sendiri agar tidak dianggap merepotkan," kata seorang psikolog pendidikan yang meneliti pengalaman sosial anak-anak penyandang disabilitas di sekolah umum.
Menuju Pendidikan yang Mau Mendengar
Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk mewujudkan pendidikan yang benar-benar inklusif? Jawabannya bukan terletak pada satu kebijakan besar, melainkan perubahan paradigma: mendengar. Anak-anak difabel sebenarnya tahu cara terbaik untuk belajar. Mereka tahu kapan butuh jeda, butuh bantuan visual, atau butuh alternatif lain dalam memahami materi. Namun selama ini, suara mereka jarang ditanya, apalagi dijadikan dasar kebijakan.
"Sudah saatnya kita berhenti membuat kebijakan untuk mereka dan mulai merancang pendidikan bersama mereka," ujar salah satu peneliti dari Pusat Studi Disabilitas Universitas Indonesia. Ia mencontohkan konsep co-design yang mulai diterapkan di beberapa sekolah di negara maju. Dalam pendekatan ini, siswa difabel dilibatkan secara aktif dalam perancangan kurikulum dan metode pembelajaran.
Di Indonesia, penerapan pendekatan ini masih sangat terbatas. Tapi perubahan bisa dimulai dari hal kecil, seperti pelibatan siswa difabel dalam forum-forum sekolah, penyediaan alat bantu yang sesuai, pelatihan guru secara rutin, hingga adaptasi ujian yang mempertimbangkan kebutuhan individual.
Menggeser Paradigma: Dari Mengubah Anak ke Mengubah Sistem
Mungkin selama ini masyarakat terlalu sering menanyakan, "Bagaimana caranya agar anak difabel bisa belajar seperti anak normal?" Padahal, pertanyaan yang lebih tepat adalah: "Bagaimana sistem belajar bisa berubah agar mampu merangkul semua anak, tanpa kecuali?"
Perubahan dalam pendidikan tidak akan datang dari belas kasihan. Ia hanya akan lahir dari keberanian untuk mengakui bahwa sistem yang ada selama ini tidak adil. Pendidikan inklusif bukan pemberian, tapi hak. Dan seperti semua hak lainnya, ia harus diperjuangkan.
Sebagaimana disampaikan oleh seorang aktivis hak difabel dalam seminar nasional tahun lalu: “Kami tidak meminta istimewa. Kami hanya ingin sistem yang bisa melihat dan mendengar kami. Karena kami juga punya mimpi, sama seperti anak-anak lainnya.”
Kini saatnya mimpi itu dijawab, bukan dengan janji, tetapi dengan tindakan nyata.