JAKARTA - Komitmen untuk memperkuat legalitas dan keselamatan para penambang rakyat di Kalimantan Tengah (Kalteng) terus digaungkan. Anggota DPRD Kalteng, Bambang Irawan, menegaskan pentingnya pembentukan wilayah khusus bagi aktivitas Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), sebagai langkah konkret mendorong tata kelola sektor pertambangan rakyat yang lebih aman dan tertib.
Dalam pernyataannya pada Selasa, 6 Mei 2025, Bambang yang duduk di Komisi II DPRD Kalteng komisi yang membidangi urusan Perekonomian dan Sumber Daya Alam menyuarakan urgensi pembentukan regulasi daerah yang mampu menaungi para pelaku tambang rakyat. Ia menilai keberadaan WPR mutlak diperlukan untuk menghindari praktik pertambangan ilegal sekaligus menjamin aspek keselamatan kerja.
“Tentunya kita inginkan adanya wilayah-wilayah khusus untuk Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), sehingga dapat memastikan juga standar-standar keselamatan dapat menjadi perhatian dan dilakukan,” ujar Bambang.
Politisi dari Daerah Pemilihan (Dapil) V Kalteng yang mencakup Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau itu mengungkapkan bahwa saat ini DPRD tengah menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) terkait pertambangan mineral non-logam, sebagai wujud kepedulian terhadap nasib para penambang lokal.
Menurutnya, Raperda tersebut diharapkan menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan aktivitas pertambangan rakyat agar berjalan sesuai kaidah hukum, terlindungi, dan memberi kepastian hukum bagi masyarakat. Di samping itu, pengaturan ini diyakini akan mereduksi dominasi pemodal besar yang kerap memanfaatkan celah hukum dengan mengoperasikan alat berat dalam wilayah tambang rakyat.
“Kami ingin aktivitas WPR mendapat naungan, dilindungi, dan terlaksana dengan baik. Harus ada keadilan. Jangan sampai rakyat kalah bersaing karena tidak memiliki akses terhadap alat berat dan modal besar seperti korporasi,” imbuhnya.
Alat Berat Harus Diatur, Bukan Diharamkan
Dalam praktik di lapangan, Bambang mengakui bahwa penggunaan alat berat dalam tambang rakyat menjadi persoalan yang kerap menimbulkan kontroversi. Namun menurutnya, bukan berarti penggunaan alat berat harus dilarang secara mutlak. Yang terpenting, kata dia, adalah adanya aturan main yang jelas.
“Harus diatur penggunaan alat berat dalam melaksanakan pekerjaan tambang. Makanya, dengan adanya WPR, ke depan itu sangat diperlukan aturan-aturan, sehingga hal-hal seperti itu bukan menjadi sesuatu yang terlarang atau pun lazim begitu saja,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa tanpa adanya pengaturan secara spesifik, penggunaan alat berat oleh pihak yang tidak bertanggung jawab bisa berdampak merugikan masyarakat dan lingkungan. Karena itu, Raperda yang sedang digodok saat ini diharapkan mampu menjawab persoalan tersebut dengan mengatur batasan, persyaratan, dan tanggung jawab penggunaan alat berat dalam WPR.
Kritik Aturan Nasional yang Multitafsir
Selain menyoroti perlunya pembentukan WPR dan pengaturan penggunaan alat berat, Bambang juga mengkritik kebijakan nasional mengenai pertambangan rakyat yang menurutnya belum menjawab kebutuhan di daerah.
“Aturan WPR yang saat ini berlaku secara nasional dirasa masih bersifat standar ganda atau multi tafsir, sehingga sangat diperlukan aturan khusus berupa Raperda yang mengatur hal tersebut secara lebih jelas dan kontekstual dengan kondisi di daerah,” ujarnya.
Bambang menegaskan bahwa kebijakan pusat belum cukup mengakomodasi dinamika lapangan yang dihadapi para penambang lokal, terutama di daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya alam namun minim infrastruktur dan pendampingan dari pemerintah. Oleh karena itu, otonomi daerah dalam merumuskan aturan yang sesuai dengan kondisi lokal menjadi kunci agar pengelolaan tambang rakyat bisa lebih optimal.
Keselamatan Pekerja dan Dampak Lingkungan Jadi Sorotan
Lebih lanjut, Bambang juga mengingatkan agar regulasi tidak hanya berfokus pada aspek legalitas semata, tetapi juga memperhatikan dampak lingkungan dan keselamatan para pekerja tambang.
Ia mencontohkan beberapa insiden yang terjadi akibat aktivitas pertambangan yang tidak memperhatikan lingkungan dan infrastruktur sekitar, seperti ambruknya jembatan di wilayah tambang.
“Yang menjadi perhatian khusus seperti wilayah-wilayah atau areal perusahaan pertambangan juga harus diperhatikan, baik masyarakat sekitar dan keselamatan pekerjanya. Karena ada beberapa kasus yang saya temui dari beberapa perusahaan, seperti ambruknya jembatan akibat aktivitas mereka. Itu juga menjadi perhatian kami,” kata Bambang.
Menurutnya, kecelakaan kerja dan kerusakan infrastruktur akibat kegiatan tambang yang tak terkontrol adalah bukti nyata bahwa pengawasan dan regulasi teknis harus diperketat, termasuk di sektor pertambangan rakyat.
Sinergi Eksekutif dan Legislatif
Untuk itu, Bambang mendorong pemerintah daerah selaku pihak eksekutif agar lebih proaktif dalam memberikan ruang dan perlindungan hukum bagi para penambang rakyat. Ia meyakini bahwa sinergi antara legislatif dan eksekutif mutlak dibutuhkan untuk mewujudkan tata kelola pertambangan rakyat yang berkeadilan.
“Saya berharap pemerintah daerah dapat memberikan ruang yang jelas bagi aktivitas penambangan rakyat. Jangan sampai mereka terus-menerus berada dalam bayang-bayang ketidakpastian hukum,” tegasnya.
Ia menilai bahwa WPR bukan hanya soal legalitas aktivitas tambang, tetapi juga menyangkut keberlanjutan ekonomi masyarakat lokal dan pelestarian lingkungan hidup di Kalimantan Tengah.
Harapan untuk Pertambangan Rakyat yang Berkeadilan
Langkah DPRD Kalimantan Tengah dalam merancang Raperda khusus untuk WPR menjadi angin segar bagi masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup dari sektor pertambangan rakyat. Dengan regulasi yang jelas, para pelaku tambang rakyat bisa bekerja lebih tenang, aman, dan bertanggung jawab.
Kehadiran aturan ini juga menjadi bentuk kepedulian terhadap pemerataan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat lokal, sekaligus mencegah eksploitasi sumber daya alam oleh segelintir pemodal besar.
Ke depan, publik menanti agar Raperda yang tengah disusun ini benar-benar menjadi solusi konkret atas berbagai persoalan yang selama ini membelit pertambangan rakyat. Jika berhasil, Kalimantan Tengah bisa menjadi contoh provinsi yang mampu mengelola sektor pertambangan secara inklusif, adil, dan berkelanjutan.