JAKARTA - Harga batu bara dunia mengalami pelemahan pada perdagangan Kamis, namun Indonesia tetap menunjukkan upaya untuk menjaga daya saing ekspornya di tengah berbagai sentimen negatif global, termasuk kenaikan Harga Batu Bara Acuan (HBA) dan turunnya permintaan dari negara-negara importir utama di Asia. Berdasarkan data perdagangan, harga batu bara Newcastle untuk kontrak pengiriman Mei 2025 turun tipis sebesar US$ 0,25 menjadi US$ 98,5 per ton. Sementara kontrak Juni dan Juli masing-masing terkoreksi lebih dalam, yakni sebesar US$ 1,25 menjadi US$ 104 per ton dan US$ 1,3 menjadi US$ 106,7 per ton.
Kondisi serupa juga terjadi pada harga batu bara di pasar Rotterdam. Untuk pengiriman Mei 2025, harga turun US$ 1,85 menjadi US$ 96,75 per ton. Sementara harga kontrak Juni terkoreksi ke US$ 98,8 per ton, dan Juli ke US$ 98,55 per ton.
Analis pasar energi dari BigMint menyebutkan bahwa penurunan harga ini dipicu oleh berbagai faktor eksternal, seperti ketegangan geopolitik yang memengaruhi dinamika perdagangan internasional, serta melemahnya permintaan dari negara-negara konsumen utama seperti China, Vietnam, Korea Selatan, Taiwan, dan Malaysia.
Di tengah tekanan tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) justru mengambil langkah strategis dengan menaikkan HBA untuk paruh pertama Mei 2025. Kebijakan ini dinilai sebagai upaya untuk menyesuaikan harga dengan kondisi pasar global yang dinamis.
Menurut laporan Mysteel Global, HBA untuk batu bara kalori tinggi 6.322 kcal/kg GAR ditetapkan sebesar US$ 121,15 per ton, atau naik 0,8% dibandingkan harga sebelumnya pada 15 April yang berada di angka US$ 120,2 per ton. Sementara itu, batu bara dengan kalori menengah 5.300 kcal/kg GAR mengalami lonjakan signifikan sebesar 3% menjadi US$ 80,8 per ton—tertinggi dalam dua bulan terakhir.
“Ini adalah kenaikan terbesar di antara semua harga HBA, mencerminkan pemulihan dari harga rendah sebelumnya,” tulis Mysteel Global dalam laporannya.
Sejak Maret 2025, ESDM telah menetapkan kebijakan baru dengan memperbarui HBA sebanyak dua kali dalam sebulan, menggantikan skema pembaruan bulanan yang sebelumnya diterapkan. Tujuannya adalah agar penetapan harga acuan lebih responsif terhadap pergerakan harga global yang semakin fluktuatif.
Menariknya, mulai Februari 2025, HBA tak hanya digunakan sebagai acuan domestik, melainkan juga diberlakukan dalam transaksi ekspor. Kebijakan ini sempat menuai penolakan dari pelaku pasar internasional karena dinilai membatasi fleksibilitas harga dalam kontrak dagang lintas negara.
Meski demikian, pemerintah Indonesia tetap berkomitmen menjalankan kebijakan tersebut sebagai bagian dari upaya menjaga transparansi dan kestabilan harga komoditas strategis nasional.
Namun, tantangan masih terus membayangi, terutama dalam hal menarik minat pembeli dari pasar ekspor terbesar, yakni China. Data Mysteel menyebutkan bahwa harga batu bara Indonesia dengan kalori 3.800 kcal/kg NAR kini hanya lebih murah RMB 15 per ton dibandingkan produk sejenis dari produsen dalam negeri China per 7 Mei 2025. Padahal dua pekan sebelumnya, selisih harga mencapai RMB 29,5 per ton.
Penyusutan selisih harga ini memperlemah daya saing batu bara Indonesia di pasar Negeri Tirai Bambu.
“Jika selisih harga terus menyempit, maka pembeli dari China akan semakin enggan mengimpor batu bara dari Indonesia karena dianggap tidak kompetitif lagi,” ungkap analis energi dari Mysteel dalam laporan yang dikutip pada Kamis.
Di sisi lain, ekspor batu bara dari Australia juga menunjukkan tren penurunan. Pada April 2025, ekspor non-coking coal dari Negeri Kanguru tercatat sebesar 16,08 juta ton atau turun 4,1% dibandingkan bulan sebelumnya. Namun secara tahunan, volume ekspor tetap mencatatkan kenaikan 2,9% dibandingkan April 2024.
Pelemahan ekspor Australia terjadi karena turunnya permintaan dari pasar utama di Asia. Ekspor ke China tercatat turun 10,9% menjadi 5,31 juta ton, ekspor ke Vietnam anjlok 12,3%, ke Korea Selatan turun 22,1%, Taiwan turun 12,5%, dan Malaysia terkoreksi 11,7%. Hanya Jepang yang mencatatkan penurunan ringan sebesar 0,5% menjadi 4,57 juta ton.
Meski harga global tengah menurun, pelaku industri batu bara Indonesia tetap optimistis mampu menjaga volume ekspor dan mencari pasar baru.
“Kami terus mendukung kebijakan pemerintah yang berupaya menjaga keseimbangan antara stabilitas harga dan kelangsungan ekspor. Langkah ESDM yang memperbarui HBA dua kali sebulan sangat membantu industri dalam menyesuaikan strategi pemasaran,” ujar seorang pelaku industri batu bara di Kalimantan yang enggan disebut namanya.
Langkah penyesuaian HBA ini juga dipandang sebagai bentuk adaptasi yang cerdas di tengah persaingan ketat global, terutama dari negara-negara seperti Australia, Afrika Selatan, dan Rusia yang juga aktif mengekspor batu bara ke Asia.
Selain itu, isu geopolitik seperti konflik India dan Pakistan yang kembali memanas turut menjadi faktor yang dapat memengaruhi prospek ekspor batu bara dan Crude Palm Oil (CPO) Indonesia ke kawasan Asia Selatan. Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengungkapkan kekhawatiran bahwa ketegangan tersebut bisa berdampak pada kelancaran perdagangan lintas kawasan.
“Konflik India-Pakistan bisa memengaruhi jalur logistik dan pengambilan keputusan para pembeli dari kawasan tersebut. Ini tentu harus kita antisipasi,” kata Bahlil dalam pernyataan terpisah yang dikutip oleh media.
Dengan berbagai tantangan dan dinamika yang terjadi, pelaku industri dan pemerintah diharapkan terus berkoordinasi agar batu bara Indonesia tetap menjadi pilihan utama di pasar internasional. Apalagi, sektor batu bara masih menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar bagi negara, sekaligus penopang kebutuhan energi domestik.
Untuk itu, langkah-langkah kebijakan yang adaptif, inovatif, dan pro-pasar akan menjadi kunci keberlanjutan industri ini di tengah gejolak ekonomi global.