Harga Minyak Dunia Melemah Akibat Rencana Perundingan Nuklir AS Iran, Ketegangan Geopolitik Masih Bayangi Pasar

Kamis, 22 Mei 2025 | 08:07:11 WIB
Harga Minyak Dunia Melemah Akibat Rencana Perundingan Nuklir AS Iran, Ketegangan Geopolitik Masih Bayangi Pasar

JAKARTA - Harga minyak dunia mengalami penurunan pada pekan ketiga bulan Mei setelah muncul kabar bahwa Amerika Serikat dan Iran akan menggelar putaran baru perundingan nuklir. Isu ini turut meredakan kekhawatiran pasar terkait potensi konflik militer di kawasan Timur Tengah yang sebelumnya sempat membuat harga minyak naik.

Ketegangan geopolitik di kawasan Teluk Persia selalu menjadi faktor penentu pergerakan harga minyak mentah global. Kali ini, sentimen pasar kembali berubah setelah Menteri Luar Negeri Oman menyampaikan bahwa kedua negara yang berseteru sejak lama, Amerika Serikat dan Iran, berencana memulai kembali perundingan terkait program nuklir Iran pada akhir pekan mendatang.

Informasi ini menjadi angin segar bagi pasar energi, yang sebelumnya sempat terguncang oleh laporan intelijen yang mengindikasikan potensi serangan militer oleh Israel terhadap fasilitas nuklir Iran.

Harga Minyak Brent dan WTI Turun

Berdasarkan data yang dikutip dari Reuters, harga minyak mentah Brent mengalami penurunan sebesar 47 sen atau sekitar 0,7 persen, sehingga diperdagangkan pada kisaran US$ 64,91 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) turun 46 sen atau 0,7 persen menjadi US$ 61,57 per barel.

Kabar rencana perundingan damai membuat pasar minyak bereaksi cepat. Sebelumnya, ketegangan antara Iran dan Israel sempat meningkatkan harga karena adanya kekhawatiran terganggunya pasokan dari Timur Tengah, khususnya dari Iran yang merupakan salah satu produsen minyak terbesar di dunia.

"Iklim pasar langsung berubah begitu ada kepastian tentang perundingan damai. Premi risiko yang sempat meningkat akibat ancaman serangan militer langsung menyusut," jelas Phil Flynn, analis senior dari Price Futures Group.

Iran dan Ancaman Potensi Konflik Regional

Sebagai produsen minyak mentah terbesar ketiga di antara negara-negara anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC), setiap perkembangan yang berkaitan dengan Iran selalu mendapat sorotan pasar. Potensi serangan terhadap fasilitas nuklir Iran dinilai bisa mengganggu produksi dan ekspor minyak dari negara tersebut.

Namun demikian, dimulainya kembali perundingan antara Washington dan Teheran dinilai mampu meredakan ketegangan dan mengurangi risiko gangguan pasokan.

Meski demikian, sejumlah analis tetap memperingatkan kemungkinan eskalasi konflik, termasuk potensi balasan dari Iran apabila serangan tetap terjadi.

"Jika ketegangan meningkat, bisa terjadi gangguan pasokan sementara sekitar 500 ribu barel per hari. Tapi OPEC+ kemungkinan bisa menanggulangi dampak itu dengan cepat," kata Priya Walia, analis dari Rystad Energy.

Selain kemungkinan gangguan pasokan, terdapat pula kekhawatiran bahwa Iran dapat menutup Selat Hormuz, jalur maritim penting yang menjadi lalu lintas utama ekspor minyak dari Arab Saudi, Kuwait, Irak, hingga Uni Emirat Arab. Setiap ancaman terhadap selat ini otomatis meningkatkan volatilitas pasar minyak dunia.

Perundingan Nuklir dan Sanksi AS Terhadap Iran

Rencana perundingan antara Amerika Serikat dan Iran bukanlah yang pertama dalam tahun ini. Beberapa putaran diplomasi telah dilakukan sebelumnya, meskipun belum membuahkan hasil signifikan. Fokus utama perundingan tersebut adalah pembatasan program nuklir Teheran, yang selama ini menjadi sorotan dunia internasional, khususnya negara-negara Barat.

Di sisi lain, pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump tetap melanjutkan tekanan terhadap Iran melalui sanksi ekonomi, termasuk pembatasan terhadap ekspor minyak. Langkah tersebut dimaksudkan untuk menekan pendapatan Iran dari sektor energi, sekaligus memaksa negara itu mematuhi kesepakatan nuklir internasional.

Laporan Stok Minyak AS dan Kenaikan Produksi Kazakhstan

Selain faktor geopolitik, laporan dari Badan Informasi Energi Amerika Serikat (EIA) juga memberikan tekanan tambahan terhadap harga minyak. Data terbaru menunjukkan bahwa stok minyak mentah di Amerika Serikat meningkat sebesar 1,3 juta barel selama sepekan terakhir. Sementara itu, persediaan bensin naik sebesar 800 ribu barel, dan stok distilat, yang mencakup solar dan minyak pemanas, bertambah 600 ribu barel.

Kenaikan persediaan ini menunjukkan melemahnya permintaan energi domestik di negara dengan konsumsi minyak terbesar di dunia tersebut, yang kemudian mendorong pelaku pasar untuk melakukan aksi jual.

Di luar Amerika Serikat, produksi minyak dari Kazakhstan juga dilaporkan meningkat sekitar dua persen sepanjang bulan Mei. Kenaikan ini dianggap bertentangan dengan seruan OPEC+ yang tengah mendorong pemangkasan produksi untuk menstabilkan harga minyak global. Perbedaan sikap ini kembali menambah tekanan di pasar, karena pasar khawatir keseimbangan antara pasokan dan permintaan kembali terganggu.

Risiko Tetap Ada Meski Pasar Relatif Tenang

Walaupun kabar perundingan damai memberi ketenangan sesaat, pelaku pasar tetap bersikap waspada. Potensi perubahan kebijakan mendadak, ancaman serangan militer, dan dinamika hubungan diplomatik antara kekuatan besar dunia menjadi elemen yang selalu membayangi pergerakan harga minyak mentah global.

Saat ini, pelaku pasar akan terus mencermati hasil dari perundingan yang direncanakan berlangsung pada akhir pekan bulan Mei. Keberhasilan atau kegagalan dari pertemuan tersebut akan sangat menentukan arah pergerakan harga minyak di minggu-minggu mendatang.

Terkini

Menikmati Kuliner dan Panorama Indah Danau Toba

Kamis, 02 Oktober 2025 | 13:57:00 WIB

Menikmati Kuliner Lezat dan Suasana Asri Bawen

Kamis, 02 Oktober 2025 | 13:56:58 WIB

Persib Bandung Raih Kemenangan Perdana di ACL

Kamis, 02 Oktober 2025 | 13:56:57 WIB

Valentino Rossi Masih Jadi Misteri di Mandalika 2025

Kamis, 02 Oktober 2025 | 13:56:56 WIB