JAKARTA - Harga ponsel pintar iPhone diperkirakan akan mengalami kenaikan signifikan mulai Juni 2025 seiring dengan diberlakukannya kebijakan tarif impor baru oleh pemerintah Amerika Serikat. Langkah ini dipandang sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mendorong perusahaan teknologi memperluas basis produksi dalam negeri.
Kebijakan tersebut diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat pada akhir Mei 2025 melalui kanal media sosial resminya. Dalam pengumuman itu, pemerintah menyatakan rencana penerapan tarif sebesar 25 persen terhadap produk elektronik impor, termasuk smartphone iPhone, yang akan mulai berlaku pada Juni mendatang. Tarif tersebut secara khusus ditujukan bagi produk-produk yang dipasarkan di Amerika Serikat tetapi diproduksi di luar negeri.
Sebagai bagian dari kebijakan perdagangan internasional yang lebih agresif, pemerintah juga mengumumkan rencana penerapan tarif resiprokal sebesar 50 persen untuk produk-produk asal Uni Eropa. Hal ini menambah tekanan terhadap berbagai perusahaan global yang bergantung pada rantai pasok lintas negara, termasuk Apple sebagai salah satu raksasa teknologi dunia.
Meski kebijakan ini berlaku secara luas terhadap produk elektronik, otoritas AS memberikan pengecualian tarif bagi perusahaan yang bersedia memindahkan fasilitas produksi mereka ke wilayah Amerika Serikat. Dengan demikian, relokasi industri ke dalam negeri menjadi syarat utama bagi perusahaan untuk terbebas dari beban tarif tambahan.
Sejumlah analis memprediksi bahwa kebijakan tarif ini akan berdampak langsung terhadap struktur harga produk Apple, terutama lini iPhone yang sebagian besar komponennya dirakit di Asia. Kenaikan biaya impor akibat tarif diperkirakan akan dibebankan kepada konsumen akhir, sehingga harga jual iPhone di pasar Amerika Serikat akan melonjak hingga ratusan dolar mulai pertengahan tahun ini.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan konsumen dan pelaku industri. Para pengamat menilai bahwa kebijakan tarif yang bersifat proteksionis dapat mengganggu stabilitas ekonomi global serta memicu gejolak dalam pasar saham dan mata uang. Di sisi lain, pemerintah beralasan bahwa langkah ini penting untuk mendukung lapangan kerja di sektor manufaktur domestik dan memperkuat kemandirian industri nasional.
Sinyal ketegangan dalam dunia perdagangan global kian terasa setelah pengumuman kebijakan tersebut. Pelaku pasar merespons dengan hati-hati. Saham Apple, misalnya, mengalami penurunan hingga 3 persen dalam sehari setelah pengumuman resmi tarif baru. Penurunan ini menunjukkan adanya kekhawatiran investor terhadap prospek laba perusahaan dalam jangka pendek, terutama jika Apple memutuskan untuk tetap mempertahankan fasilitas produksinya di luar negeri.
Di tengah situasi tersebut, Apple diketahui telah mempercepat upaya diversifikasi basis produksinya. Sejak awal 2024, perusahaan telah memperluas kegiatan manufaktur iPhone di India sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada China. Proyek ini ditargetkan akan rampung pada akhir 2026 dan diharapkan mampu memasok pasar global termasuk Amerika Serikat.
Namun demikian, upaya tersebut belum sepenuhnya mengatasi tantangan jangka pendek terkait tarif baru. Sebagian besar produksi iPhone untuk pasar AS saat ini masih dilakukan di luar negeri, dan Apple belum memberikan pernyataan resmi terkait rencana relokasi lini produksinya ke AS dalam waktu dekat.
Pada awal 2024, Apple sempat mengumumkan rencana investasi sebesar US$500 miliar di sembilan negara bagian Amerika Serikat. Namun investasi tersebut lebih difokuskan pada pengembangan teknologi, pusat data, serta riset dan pengembangan, bukan untuk relokasi lini produksi iPhone. Hal ini menimbulkan asumsi bahwa Apple kemungkinan besar akan tetap mempertahankan sebagian besar operasi manufakturnya di luar negeri untuk saat ini.
Langkah pemerintah AS dalam mendorong relokasi industri dinilai ambisius, namun menghadapi tantangan besar. Relokasi pabrik elektronik ke dalam negeri memerlukan biaya besar, waktu panjang, serta penyesuaian dalam sistem logistik dan rantai pasok global. Banyak perusahaan teknologi menilai bahwa skala efisiensi dan biaya produksi yang tersedia di negara seperti China dan India masih sulit ditandingi oleh pasar domestik AS.
Sementara itu, konsumen diperkirakan akan menjadi pihak yang paling terdampak dari kebijakan tarif ini. Dengan harga jual iPhone yang berpotensi naik signifikan, daya beli masyarakat akan terdampak, khususnya di segmen menengah ke bawah. Kenaikan harga juga bisa memicu penurunan permintaan, sehingga memengaruhi volume penjualan Apple secara keseluruhan.
Para analis dari lembaga-lembaga keuangan internasional memperkirakan bahwa kebijakan ini akan memicu inflasi harga barang-barang elektronik di pasar global. Efek jangka panjang dari perang dagang baru yang muncul antara Amerika Serikat dan negara mitranya, termasuk Uni Eropa, dikhawatirkan akan berdampak pada investasi, ekspor-impor, serta pertumbuhan ekonomi lintas negara.
Secara keseluruhan, situasi ini menunjukkan kompleksitas dinamika geopolitik dan ekonomi global yang berdampak langsung terhadap industri teknologi dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Meski kebijakan tarif dimaksudkan untuk memperkuat ekonomi domestik, pelaksanaannya tetap membutuhkan strategi dan koordinasi lintas sektor yang matang agar tidak menimbulkan efek kontraproduktif di masa depan.
Dalam waktu dekat, perhatian akan tertuju pada bagaimana Apple dan perusahaan-perusahaan teknologi lainnya merespons kebijakan baru ini. Langkah-langkah yang mereka ambil, baik dalam bentuk relokasi produksi, penyesuaian harga, maupun strategi pemasaran baru, akan sangat menentukan arah industri teknologi global dalam beberapa tahun mendatang.