JAKARTA - Sebanyak 25 lembaga swadaya masyarakat (LSM) dari berbagai negara menyampaikan kekhawatiran serius kepada perusahaan otomotif global Stellantis terkait rencana investasinya dalam proyek pengolahan nikel di Indonesia. LSM tersebut melayangkan surat terbuka yang ditujukan kepada Chairman Stellantis N.V, John Elkann di Belanda, pada Rabu (26/3/2025), untuk memperingatkan dampak sosial dan lingkungan dari proyek nikel bersama PT Vale Indonesia dan Huayou Cobalt.
Surat tersebut menyuarakan potensi ancaman terhadap hak asasi manusia, kerusakan hutan, dan kontribusi terhadap perubahan iklim yang ditimbulkan dari praktik pertambangan dan pengolahan nikel di tanah air. “Kami menulis surat ini untuk menyampaikan kekhawatiran serius bahwa rencana investasi Stellantis dalam fasilitas pengolahan nikel bersama Vale Indonesia dan Huayou Cobalt apabila tanpa perlindungan yang memadai, dapat membahayakan masyarakat adat, komunitas lokal, pekerja, dan lingkungan hidup,” tulis perwakilan masyarakat sipil dalam surat tersebut.
Kelompok ini menekankan pentingnya kepatuhan Stellantis terhadap regulasi baterai Uni Eropa yang berlaku mulai 2025, yang mewajibkan produsen kendaraan listrik (EV) memastikan rantai pasokan baterai bebas dari pelanggaran hak asasi manusia dan degradasi lingkungan.
Dampak Buruk Pertambangan Nikel
Dalam dokumen tersebut, LSM memaparkan sejumlah temuan terkait buruknya praktik pertambangan nikel di Indonesia. Penelitian Satya Bumi (2024) mengungkap bahwa aktivitas tambang nikel di Pulau Kabaena telah merusak habitat suku Bajau, salah satu suku laut nomaden terakhir di dunia. Aktivitas pertambangan disebut menyebabkan kematian dan perubahan gaya hidup suku tersebut.
“Bahan baku baterai yang digunakan oleh Stellantis berasal dari kegiatan ini,” tegas perwakilan masyarakat sipil dalam suratnya.
Lebih lanjut, laporan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Stellantis tahun 2023 pada halaman 280 menunjukkan bahwa perusahaan menerima input material baterai dari pertambangan nikel di Indonesia yang teridentifikasi mengalami konflik lahan.
Selain itu, kelompok masyarakat sipil juga menyoroti keterlibatan Stellantis dalam proyek bersama Samsung SDI asal Korea Selatan untuk membangun pabrik baterai kendaraan listrik di Amerika Utara, yang dijadwalkan beroperasi tahun 2027. Samsung SDI disebut menerima pasokan nikel dari Indonesia, termasuk dari kawasan industri nikel di Morowali (IMIP).
Ancaman terhadap Komunitas Adat dan Lingkungan
Penelitian Survival International (2024) turut menjadi sorotan, menyebutkan bahwa pertambangan nikel di wilayah Maluku mengancam eksistensi masyarakat adat Hongana Manyawa yang belum tersentuh dunia luar. Perusahaan Weda Bay Nickel yang beroperasi di wilayah tersebut sebagian sahamnya dimiliki oleh perusahaan asal Prancis, Eramet, yang juga menjalin kemitraan dengan Stellantis.
Seiring ekspansi perusahaan tambang ke wilayah masyarakat adat, semakin banyak kasus kriminalisasi terhadap pembela lingkungan yang menolak aktivitas tambang. Salah satu insiden tragis terjadi pada Desember 2023, ketika ledakan di smelter nikel PT Gunbuster Nickel Industry di Morowali menewaskan 13 pekerja dan melukai 46 lainnya.
Antara tahun 2015 hingga 2022, tercatat 47 kematian dan 76 luka-luka di lokasi pertambangan dan smelter nikel di Indonesia, menunjukkan betapa tingginya risiko keselamatan kerja di sektor ini.
Masalah Polusi dan Emisi Karbon
Selain aspek sosial, proses pengolahan nikel menggunakan teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL) turut disorot karena menghasilkan limbah tailing yang mencemari perairan dan mengubah laut menjadi berwarna merah. Proses ini juga bergantung pada pembangkit listrik berbasis batu bara, yang meningkatkan emisi CO2 secara signifikan.
Kapasitas listrik berbasis batu bara dari kawasan industri Morowali dan Weda Bay bahkan mencapai 5 GW, setara dengan kapasitas pembangkit nasional Pakistan. Hal ini, menurut para LSM, berpotensi menempatkan Indonesia di jalur sebagai salah satu negara dengan polusi iklim tertinggi di dunia.
“Pembangunan PLTU untuk mendukung produksi nikel justru mengancam manfaat iklim dari kendaraan listrik,” ungkap surat tersebut.
Tuntutan Transparansi dan Akuntabilitas
Dengan regulasi Uni Eropa yang mulai berlaku pada 2025, kelompok masyarakat sipil mendesak Stellantis untuk mengungkap secara transparan rantai pasok bahan bakunya. Mereka menuntut publikasi data yang mencakup lokasi geografis tambang, persentase bahan baku yang diperoleh sesuai komitmen keberlanjutan, audit pihak ketiga, serta dampak terhadap keanekaragaman hayati dan perubahan lahan.
“Sebagai produsen EV besar yang berencana berinvestasi di Indonesia, Stellantis memiliki kesempatan untuk memastikan bahwa nikel yang digunakan dalam rantai pasokan kendaraan listriknya di Eropa, Cina, Inggris, dan AS bebas dari pelanggaran lingkungan dan hak asasi manusia semacam ini,” tulis mereka.
Stellantis sendiri tengah menjajaki investasi pada fasilitas smelter HPAL bersama PT Vale Indonesia, yang ditujukan untuk mengolah bijih nikel berkadar rendah menjadi bahan baku baterai EV.
Kelompok masyarakat sipil berharap, langkah Stellantis tidak hanya berorientasi bisnis, tetapi juga menghormati hak masyarakat lokal, menjaga lingkungan, serta berkontribusi pada transisi energi yang adil dan berkelanjutan.