JAKARTA - Keputusan mengejutkan diambil oleh Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Erick Thohir, yang resmi menghentikan kerja sama dengan pelatih Tim Nasional Indonesia, Shin Tae-yong (STY), sebelum masa baktinya berakhir. Langkah ini menjadi perbincangan luas, mengingat kontribusi besar pelatih asal Korea Selatan tersebut dalam meningkatkan performa Timnas hingga dikenal secara internasional. Langkah Erick yang tergolong berisiko tinggi dianggap banyak pihak sebagai keputusan berani yang menunjukkan kepemimpinan visioner sekaligus penuh pertaruhan.
Shin Tae-yong adalah sosok yang sangat dihormati dan dicintai publik sepak bola Indonesia. Ia membawa banyak kemajuan, baik dari sisi taktik permainan maupun mentalitas pemain. Di bawah asuhannya, Timnas mencetak berbagai pencapaian membanggakan di level Asia Tenggara dan bahkan internasional. Namun, tanpa menunggu hingga pertandingan krusial pada Maret 2025 melawan Australia dan Bahrain, Erick Thohir memilih mengganti STY dengan mantan pemain bintang Belanda, Patrick Kluivert. Keputusan ini tentu menuai kontroversi, karena jika Timnas meraih hasil positif pada dua laga itu, publik mungkin akan lebih menerima pergantian pelatih secara logis dan natural. Namun Erick memilih jalan yang berbeda dan tidak populer.
Menanggapi pergantian ini, Erick Thohir mengatakan ada dinamika internal antara pelatih dan pemain yang kurang menguntungkan jika dibiarkan berlanjut. Ia menyampaikan bahwa, “Kami harus melihat secara menyeluruh kondisi tim, termasuk faktor hubungan pelatih dan pemain yang menjadi salah satu penentu performa di lapangan. Kami ingin meningkatkan peluang Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026. Ini bukan keputusan mudah, tapi kami harus berani.”
Keputusan Erick Thohir bukan tanpa dasar pemikiran. Ia dinilai oleh para pengamat sebagai tipe pemimpin risk-taking atau pengambil risiko, sebagaimana diklasifikasikan dalam pemikiran Howard Gardner dalam bukunya Leading Minds (1995). Gardner menjelaskan bahwa pemimpin besar seringkali dihadapkan pada situasi krusial dan harus mengambil risiko berdasarkan visi, adaptasi, dan empati. Erick Thohir mencerminkan ketiga dimensi itu dalam satu keputusan strategis: memberhentikan pelatih populer dan menggantinya dengan sosok asing yang relatif belum dikenal publik Indonesia, namun memiliki reputasi tinggi di Eropa.
Dari sisi Visionary Risk-Taking, Erick menunjukkan bahwa ia memiliki visi besar membawa Timnas Indonesia ke level lebih tinggi, terutama dalam konteks lolos ke Piala Dunia. Mengganti STY dengan Kluivert yang memiliki pengalaman melatih di Eropa, termasuk di Belanda asal sebagian besar pemain naturalisasi Timnas merupakan langkah yang sejalan dengan strategi jangka panjang. “Kami ingin membangun fondasi Timnas dengan pendekatan yang lebih terstruktur dan sejalan dengan latar belakang pemain saat ini,” ujar Erick.
Namun, tentu keputusan ini juga memunculkan berbagai risiko besar. Salah satunya adalah potensi kehilangan kepercayaan publik. Banyak penggemar sepak bola Indonesia merasa kecewa dengan keputusan ini karena mereka melihat STY sebagai simbol kebangkitan Timnas. Erick juga dianggap mengorbankan momentum dan kestabilan tim demi mengejar target ambisius. Kritik muncul dari berbagai kalangan, menyebut bahwa penggantian ini terlalu cepat dan tidak mempertimbangkan hasil-hasil baik sebelumnya.
Meski begitu, keputusan Erick juga dapat dipandang dari sisi Adaptive Risk-Taking. Ia menunjukkan keberanian untuk mengganti pendekatan yang dianggap mulai stagnan. Dalam beberapa pertandingan terakhir, performa Timnas disebut tidak konsisten dan ada laporan tentang ketidakharmonisan antara pelatih dan pemain. Dengan masuknya Kluivert, Erick berharap adanya pendekatan baru yang lebih demokratis, terbuka, dan sesuai dengan kultur pemain naturalisasi yang sebagian besar memiliki latar belakang Eropa. Ini adalah bentuk adaptasi terhadap kebutuhan kompetitif Timnas di level dunia.
Namun, sebagaimana disebutkan dalam ulasan Gardner, keputusan adaptif ini memiliki tantangan besar. Transisi ke pelatih baru membutuhkan waktu, dan jika proses adaptasi tidak berjalan baik, performa Timnas bisa terganggu. Apalagi, Timnas akan menghadapi laga-laga penting dalam waktu dekat. Jika performa menurun, Erick bisa dianggap gagal dalam membaca momentum dan terlalu tergesa-gesa membuat perubahan.
Dalam kerangka Empathetic Risk-Taking, Erick juga menunjukkan sisi kepemimpinan yang memperhitungkan masa depan sepak bola Indonesia, bukan sekadar popularitas jangka pendek. Ia menyadari bahwa keputusan ini bisa menyakitkan bagi sebagian besar fans, namun ia meyakini bahwa ini akan membawa manfaat dalam jangka panjang. “Kami tahu ini langkah sulit, tapi kami ingin membangun Timnas yang lebih kompetitif dan solid dalam jangka panjang,” ucap Erick.
Keputusan ini menguji kemampuan Erick dalam mengelola komunikasi publik. Jika ia berhasil menjelaskan secara transparan alasan di balik keputusan ini dan menunjukkan hasil yang lebih baik ke depan, ia bisa mendapatkan kembali dukungan publik dan bahkan dipandang sebagai sosok revolusioner dalam dunia sepak bola nasional. Namun, jika sebaliknya, ia akan menghadapi gelombang kritik yang bisa merusak reputasinya di dunia olahraga.
Patrick Kluivert sendiri memiliki tantangan berat. Ia harus segera beradaptasi dengan kultur sepak bola Indonesia, memahami karakter pemain, dan membangun sistem yang bisa memberikan hasil dalam waktu relatif singkat. Jika ia gagal, bukan hanya dirinya yang dipertaruhkan, tetapi juga visi besar Erick Thohir dalam membawa Indonesia ke panggung Piala Dunia 2026.
Dengan demikian, langkah Erick Thohir bukan sekadar keputusan teknis dalam dunia sepak bola, melainkan cermin dari kepemimpinan yang penuh risiko dan pertaruhan. Ia tidak memilih jalur aman yang menunggu hasil pertandingan Maret 2025 untuk membuat keputusan, melainkan langsung mengambil tindakan dengan dasar perhitungan matang dan visi jangka panjang. Ia menantang status quo dengan keyakinan bahwa perubahan besar memerlukan keberanian besar pula.
Seiring waktu, publik akan menilai apakah keputusan ini benar atau justru menjadi batu sandungan. Namun yang pasti, Erick Thohir telah menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam dunia olahraga, seperti halnya dalam bidang lain, membutuhkan keberanian untuk bertindak meski di tengah gelombang ketidakpastian. Apakah ia akan menjadi pahlawan atau justru disalahkan publik, hanya performa Timnas di masa mendatang yang bisa menjawabnya.