JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan kembali komitmennya untuk menjadikan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, sebagai pusat pengembangan energi panas bumi di Indonesia. Langkah ini merupakan bagian dari strategi nasional dalam mempercepat transisi energi bersih dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, khususnya diesel, di wilayah timur Indonesia.
Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiyani Dewi dalam konferensi pers The 11th Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) 2025 yang digelar di Jakarta. Menurut Eniya, Flores memiliki potensi panas bumi yang sangat besar, menjadikannya kandidat ideal untuk dikembangkan secara maksimal sebagai sumber energi utama.
“Flores memiliki kekayaan sumber daya panas bumi yang luar biasa. Ini satu-satunya energi terbarukan yang realistis untuk menggantikan diesel di sana,” ujar Eniya.
Potensi Panas Bumi Flores Jadi Tumpuan Transisi Energi
Penetapan Flores sebagai “Pulau Panas Bumi” sebenarnya bukan hal baru. Melalui Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 yang diterbitkan pada 19 Juni 2017, Flores telah ditetapkan sebagai wilayah prioritas pengembangan energi panas bumi di Indonesia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, implementasinya menghadapi berbagai tantangan, terutama yang berkaitan dengan aspek sosial dan lingkungan.
Dalam pemaparannya, Eniya menjelaskan bahwa pihaknya telah mengevaluasi berbagai jenis energi terbarukan sebelum menetapkan panas bumi sebagai opsi utama di Flores. Energi surya, meskipun menjanjikan, memerlukan lahan yang sangat luas jika ingin menggantikan konsumsi diesel secara signifikan. Sementara pembangkit listrik tenaga air sulit dikembangkan karena kondisi geografis Flores yang cenderung panas dan kering.
“Dari sisi teknis dan potensi sumber daya, hanya panas bumi yang memungkinkan untuk menggantikan PLTD secara signifikan di wilayah tersebut,” tegas Eniya.
Tantangan Sosial dan Penolakan Masyarakat
Meski secara teknis proyek panas bumi di Flores sangat menjanjikan, Eniya tak menutup mata terhadap dinamika sosial yang berkembang di masyarakat. Sejumlah aksi protes dan penolakan terhadap proyek PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) telah beberapa kali mencuat, terutama dari masyarakat lokal dan lembaga keagamaan seperti Gereja Katolik.
Pada akhir Maret 2025 lalu, Keuskupan Ende secara tegas menyuarakan penolakannya terhadap rencana pengembangan proyek panas bumi di wilayah tersebut. Mereka menilai bahwa proyek-proyek semacam itu berpotensi menimbulkan konflik sosial, mengganggu tatanan kehidupan masyarakat lokal, dan mengancam kelestarian lingkungan alam Flores.
Menanggapi hal itu, Eniya menyatakan bahwa pemerintah tidak mengabaikan kekhawatiran masyarakat dan justru menunjukkan keseriusannya dalam mencari solusi bersama. “Kami sedang dan terus membangun komunikasi intensif dengan Gubernur NTT, Bapak Emanuel Melkiades Laka Lena, sejak tiga pekan lalu,” kata Eniya.
Pemerintah Lakukan Pendekatan Dialogis
Sebagai bentuk tindak lanjut dari komitmen pemerintah, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia telah melakukan koordinasi langsung dengan Gubernur NTT untuk memastikan agar proyek geothermal di Flores berjalan dengan pendekatan yang partisipatif dan menghargai kearifan lokal.
Menurut Eniya, komunikasi tidak hanya dijalin dengan pemerintah daerah, tetapi juga melibatkan pihak-pihak kunci lainnya seperti Keuskupan Ende, PT PLN, PT Sokoria Geothermal Indonesia, serta PT Daya Mas Geopatra Energi. “Dialog berjalan positif, dan kami yakin solusi yang saling menguntungkan bisa dicapai,” ucapnya.
Sebagai langkah berikutnya, Dirjen EBTKE bersama Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung dijadwalkan akan melakukan kunjungan langsung ke NTT dalam waktu dekat. Kunjungan ini bertujuan untuk memperkuat komunikasi, menjaring aspirasi masyarakat secara langsung, dan memastikan bahwa setiap proyek dilakukan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, serta berorientasi pada keberlanjutan lingkungan dan sosial.
Optimalkan Potensi, Tingkatkan Rasio Elektrifikasi
Pemerintah berharap pengembangan panas bumi di Flores tidak hanya mampu menyuplai kebutuhan energi lokal, tetapi juga dapat mendorong peningkatan rasio elektrifikasi di wilayah timur Indonesia yang selama ini masih tertinggal. Potensi panas bumi di Flores diperkirakan mampu menopang pembangunan sejumlah pembangkit listrik berkapasitas besar dan menggantikan pembangkit berbahan bakar diesel yang mahal dan tidak ramah lingkungan.
“Penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi bertujuan untuk mengoptimalkan sumber daya lokal, menekan emisi karbon, dan meningkatkan akses energi yang andal dan terjangkau bagi masyarakat,” kata Eniya.
Diketahui, proyek panas bumi yang telah berjalan di Flores salah satunya berada di kawasan Sokoria. Proyek ini dikelola oleh PT Sokoria Geothermal Indonesia dan telah mulai memasuki tahap pengembangan lebih lanjut. Ke depan, pemerintah berencana untuk mendorong investasi baru di sektor ini, baik dari dalam negeri maupun investor asing, guna mempercepat pemanfaatan energi bersih di wilayah timur Indonesia.
Kolaborasi Jadi Kunci
Pengembangan energi panas bumi di Pulau Flores menjadi salah satu bukti nyata upaya pemerintah dalam menyeimbangkan kebutuhan energi dan pelestarian lingkungan. Namun, keberhasilan proyek ini tidak hanya bergantung pada ketersediaan sumber daya, melainkan juga pada sinergi antara pemerintah, masyarakat, investor, dan pemangku kepentingan lainnya.
Dengan mengedepankan dialog terbuka dan partisipatif, serta menjamin keberlanjutan lingkungan dan sosial, pemerintah berharap proyek ini dapat menjadi percontohan sukses pengembangan energi bersih berbasis potensi lokal.
“Flores adalah anugerah panas bumi bagi Indonesia. Sekarang tugas kita bersama untuk mengelola anugerah itu dengan bijak dan berkelanjutan,” pungkas Eniya.
Langkah konkret Kementerian ESDM untuk menjadikan Flores sebagai pulau panas bumi menunjukkan arah kebijakan energi nasional yang semakin berpihak pada masa depan energi hijau. Jika tantangan sosial dapat diatasi dengan baik, proyek ini diyakini akan membawa dampak positif jangka panjang bagi pembangunan wilayah timur Indonesia dan mendukung target netral karbon Indonesia pada 2060.