Hiburan

Kontroversi Hiburan Malam Helen’s Live Bar di Srengseng Sawah: Antara Menjaga Moral Pelajar dan Menyambut Peluang Ekonomi

Kontroversi Hiburan Malam Helen’s Live Bar di Srengseng Sawah: Antara Menjaga Moral Pelajar dan Menyambut Peluang Ekonomi
Kontroversi Hiburan Malam Helen’s Live Bar di Srengseng Sawah: Antara Menjaga Moral Pelajar dan Menyambut Peluang Ekonomi

JAKARTA - Rencana pembukaan tempat hiburan malam bernama Helen’s Live Bar yang berada di kawasan Hotel Kartika One, Srengseng Sawah, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, menuai reaksi beragam dari masyarakat sekitar. Meskipun bar tersebut belum resmi beroperasi, tensi pro dan kontra di tengah warga sudah mengemuka. Ketegangan itu tercermin dari spanduk putih bertuliskan penolakan terhadap tempat hiburan malam tersebut yang telah lebih dari sepekan terpasang di gapura masuk kawasan hotel, menandai keresahan sebagian warga atas potensi dampak negatif yang ditimbulkan.

Bagi sebagian warga, kehadiran tempat hiburan malam seperti Helen’s Live Bar dianggap tidak selaras dengan karakter lingkungan Srengseng Sawah yang selama ini dikenal sebagai kawasan pendidikan dan permukiman keluarga. Mereka khawatir kemunculan bar akan mengganggu nilai-nilai moral generasi muda yang tumbuh di wilayah tersebut. Kekhawatiran itu diungkapkan oleh Endah, seorang ibu pemilik warung nasi di sekitar lokasi hotel. Ia menyuarakan penolakannya secara tegas. “Saya jelas menolak. Karena di sini daerah pendidikan. Ada sekolah, kantor P4TK Bahasa, UI, Universitas Pancasila juga,” ujarnya.

Kekhawatiran Endah tidak tanpa alasan. Lokasi bar yang berada di dekat sejumlah institusi pendidikan seperti SMA Negeri 109 Jakarta, SMA Negeri 38, Universitas Pancasila, dan Universitas Indonesia menjadi titik sorotan. Akses jalan di depan hotel juga merupakan rute lalu-lalang pelajar setiap harinya. Bagi warga, pemandangan aktivitas malam dari sebuah bar yang beroperasi hingga larut malam bisa menimbulkan persepsi negatif bagi remaja yang tengah dalam fase pencarian jati diri. “Kalau anak-anak lihat bar itu buka malam terus, ramai terus, lama-lama bisa tergoda. Mereka bisa berpikir itu hal biasa,” ujar Endah menambahkan.

Namun, di balik gelombang penolakan, terdapat pula warga yang memilih bersikap lebih pragmatis. Mereka melihat kehadiran Helen’s Live Bar bukan semata sebagai ancaman moral, tetapi juga sebagai peluang ekonomi di tengah kondisi kehidupan yang kian menantang. Salah satunya adalah pria berusia 55 tahun yang enggan disebutkan namanya. Ia menilai kehadiran bar bisa membuka sumber penghasilan baru bagi masyarakat sekitar. “Saya fifty-fifty. Kalau ternyata bisa kasih untung ke kita, ya kenapa tidak?” tuturnya.

Peluang tersebut, menurut dia, bisa berupa tambahan pendapatan sebagai tukang ojek, tukang parkir, hingga pelaku usaha kecil yang menjual makanan atau minuman di sekitar lokasi. Pemikiran serupa juga diungkapkan oleh dua warga RW 12, Rian dan Adi. Mereka menilai bahwa tidak semua warga Srengseng Sawah menolak kehadiran Helen’s Live Bar. “Asal enggak ganggu, ya enggak masalah. Kan jual bir juga udah umum di Jakarta,” ucap Rian. Sementara Adi menambahkan, “Kalau semua warga benar-benar nolak, harusnya ada demo. Tapi sampai sekarang enggak ada.”

Hingga saat ini, Helen’s Live Bar belum juga beroperasi. Informasi yang beredar menyebutkan bahwa kendala perizinan menjadi penyebab utamanya. Meski begitu, ketegangan sosial di sekitar lokasi sudah terasa. Tidak ada pernyataan resmi dari pihak manajemen hotel maupun pengelola bar mengenai nasib proyek hiburan malam ini, membuat isu ini semakin menggantung dan penuh ketidakpastian.

Situasi ini memperlihatkan sebuah dinamika sosial yang lebih besar, yakni tarik-menarik antara nilai-nilai sosial tradisional dan arus modernisasi kota. Srengseng Sawah selama ini dikenal sebagai lingkungan yang dibentuk oleh aktivitas pendidikan, dengan ribuan mahasiswa dan pelajar melintas setiap hari. Hal ini menjadi bagian dari identitas lokal yang ingin dipertahankan oleh sebagian warga. Namun di sisi lain, kehidupan urban memunculkan kebutuhan baru, termasuk peluang ekonomi yang dapat dimanfaatkan dari sektor hiburan malam.

Isu Helen’s Live Bar tidak lagi semata-mata soal izin minuman keras atau keberadaan tempat hiburan malam. Lebih dari itu, ini adalah soal siapa yang berhak menentukan bentuk dan wajah suatu lingkungan. Apakah itu hak orang tua yang ingin melindungi anak-anak mereka dari pengaruh negatif? Ataukah hak warga kecil yang tengah berjuang bertahan hidup di tengah tekanan ekonomi?

Pertarungan nilai ini menuntut kehadiran ruang dialog yang adil dan setara. Pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat setempat perlu duduk bersama untuk membahas masa depan lingkungan mereka. Dialog yang terbuka, transparan, dan menjunjung tinggi asas keadilan sosial menjadi kunci agar keputusan yang diambil bukan hanya berpihak pada satu sisi, melainkan mencerminkan kebutuhan dan aspirasi semua pihak.

Sejauh ini belum ada kejelasan mengenai kelanjutan operasional Helen’s Live Bar. Namun yang pasti, kehadiran tempat hiburan malam di lingkungan seperti Srengseng Sawah telah membuka ruang diskusi publik yang lebih luas tentang batas antara modernisasi dan perlindungan nilai lokal. Apalagi dalam konteks urbanisasi Jakarta yang kian masif, benturan antara ekonomi dan etika sosial menjadi fenomena yang tak terelakkan. Maka, penting bagi otoritas dan pemangku kepentingan untuk mengambil peran aktif dalam meredam potensi konflik dan membangun kesepahaman kolektif.

Pemerintah juga dituntut lebih proaktif menyikapi situasi ini. Penegakan aturan tata ruang dan perizinan usaha harus mempertimbangkan kondisi sosial dan budaya di sekitarnya. Begitu pula, pelaku usaha semestinya tidak hanya memikirkan keuntungan bisnis semata, tetapi juga tanggung jawab sosial terhadap komunitas lokal tempat mereka beroperasi. Sebab kota bukan sekadar tempat bangunan berdiri, tapi tempat nilai-nilai hidup berdampingan. Tanpa keharmonisan antara kedua sisi ini, kota akan kehilangan jati dirinya sebagai ruang hidup yang inklusif.

Dalam situasi yang masih penuh tanda tanya, satu hal yang pasti: suara warga Srengseng Sawah telah menunjukkan bahwa pembangunan tidak bisa berjalan satu arah. Harus ada ruang bagi semua suara untuk didengar baik mereka yang ingin menjaga moralitas maupun yang mencari nafkah. Ke depan, keputusan apa pun yang diambil terkait Helen’s Live Bar semestinya dilandasi semangat dialog dan keadilan sosial yang lebih menyeluruh.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index