JAKARTA - Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Erick Thohir, secara tegas menyatakan bahwa jabatan ketua umum di organisasi sepak bola nasional itu tidak boleh berlangsung seumur hidup. Pernyataan tersebut disampaikan Erick dalam merespons perdebatan yang mencuat mengenai perlu atau tidaknya pembatasan masa jabatan bagi pimpinan federasi olahraga. Dalam pandangannya, pembatasan masa jabatan merupakan bagian penting dari praktik demokrasi yang sehat dan harus dijaga, meskipun di beberapa negara lain terdapat ketua asosiasi yang menjabat tanpa batasan waktu.
“Di negara lain ada yang tanpa batasan. Kalau saya di alam demokrasi ini saya percaya harus ada pembatasan. Jangan sampai PSSI ini ketua umumnya itu-itu saja. Harus ada batasan. Sebuah organisasi yang baik itu ketua umumnya tidak seumur hidup,” ujar Erick Thohir.
Sebagaimana diatur dalam Statuta PSSI 2019, khususnya pada Bab V mengenai Komite Eksekutif Pasal 38 ayat (3), disebutkan bahwa Ketua Umum PSSI dapat menjabat lebih dari tiga kali masa jabatan. Artinya, secara aturan internal saat ini, tidak ada batasan maksimum berapa kali seorang individu bisa terpilih kembali sebagai Ketua Umum, selama memenuhi syarat dan didukung oleh suara mayoritas dalam Kongres Luar Biasa (KLB) yang diselenggarakan setiap empat tahun. Kendati demikian, Erick menilai bahwa aturan tersebut tetap harus dikaji ulang dalam konteks menjaga dinamika organisasi yang sehat.
Pernyataan Erick Thohir datang di tengah berbagai perbincangan seputar reformasi struktural dan tata kelola di tubuh PSSI. Ia juga menyoroti perbedaan sistem di negara lain yang memiliki pendekatan berbeda terhadap pemilihan dan pembatasan kepemimpinan dalam federasi sepak bola. Mencontohkan salah satu negara di kawasan Asia Timur, Erick mengungkap bahwa tidak semua negara mengadopsi sistem demokratis yang sama seperti di Indonesia.
“Banyak statuta di negara lain yang berbeda. Contoh kemarin di Korea, saya juga kembali tidak bicara benar dan salah, Korea itu kemarin pemilihannya dipilih ketua, ketua pilih Exco. Itu tidak salah,” jelas Erick, menunjukkan bahwa sistem pemilihan bisa bervariasi, namun tetap perlu mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Meski demikian, Erick menegaskan bahwa dalam konteks PSSI dan budaya demokrasi di Indonesia, pembatasan masa jabatan menjadi elemen yang penting agar tidak terjadi konsentrasi kekuasaan dalam satu tangan untuk waktu yang terlalu lama. Menurutnya, regenerasi dalam tubuh organisasi harus terus berjalan agar semangat pembaruan dan inovasi dapat terus terjaga. “AFC tidak melarang pembatasan, tapi kami di PSSI dan saya secara pribadi, saya percaya demokrasi ini harus terus dijaga,” tambah Erick Thohir dengan tegas.
Erick juga menggarisbawahi bahwa Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) tidak memberlakukan larangan bagi anggotanya untuk menetapkan pembatasan masa jabatan ketua asosiasi masing-masing. Dengan kata lain, kebijakan itu sepenuhnya berada di tangan federasi nasional, dan tidak melanggar ketentuan regional maupun internasional. Ini membuka ruang bagi PSSI untuk meninjau kembali statuta yang ada dan melakukan reformasi internal jika dirasa perlu.
Pernyataan dari Erick Thohir ini tidak hanya menjadi sinyal politik di internal PSSI, tetapi juga pesan moral bagi seluruh organisasi olahraga di Indonesia untuk terus memperkuat prinsip tata kelola yang baik (good governance). Dalam beberapa tahun terakhir, banyak organisasi olahraga di Indonesia dinilai belum sepenuhnya transparan dalam pengelolaan dan masih kuat dipengaruhi oleh kepentingan politik jangka pendek. Dengan adanya ketentuan pembatasan jabatan, diharapkan bisa muncul tokoh-tokoh baru yang membawa ide segar dan semangat baru dalam memajukan olahraga, khususnya sepak bola nasional yang masih bergulat dengan berbagai tantangan struktural dan prestasi.
Langkah Erick Thohir yang menolak wacana ketua umum seumur hidup juga dinilai sebagai bagian dari komitmennya untuk mendorong reformasi berkelanjutan dalam tubuh PSSI sejak ia terpilih pada Kongres Luar Biasa PSSI pada Februari 2023. Di bawah kepemimpinannya, PSSI mulai memperlihatkan sejumlah perubahan, termasuk peningkatan transparansi anggaran, pembenahan sistem kompetisi, dan penataan ulang kerjasama komersial dengan sponsor maupun pemegang hak siar.
Pernyataan Erick ini juga penting dalam konteks menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga olahraga yang selama ini kerap mendapatkan kritik. Dengan memberikan contoh keteladanan tentang pentingnya pembatasan kekuasaan, Erick ingin menunjukkan bahwa jabatan ketua umum bukanlah tempat untuk membangun kekuasaan pribadi, melainkan wadah untuk mengabdi kepada sepak bola nasional dan masyarakat luas.
Sebagai tokoh publik yang juga menjabat sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pernyataan Erick tentang pembatasan masa jabatan tentu menjadi perhatian banyak pihak. Pandangan ini dinilai mencerminkan sikap konsisten dalam memegang nilai-nilai demokrasi dan transparansi yang seharusnya menjadi fondasi utama dalam pengelolaan organisasi publik, termasuk federasi olahraga.
Dengan momentum pernyataan ini, publik kini menanti langkah konkret dari PSSI dalam merevisi statuta agar lebih sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi modern. Revisi tersebut tidak hanya penting bagi struktur internal organisasi, tetapi juga menjadi simbol keseriusan PSSI dalam melakukan pembaruan untuk memperbaiki citra sepak bola nasional yang selama ini kerap kali tercoreng oleh berbagai kasus dan kontroversi.
Erick Thohir telah membuka diskusi publik yang sehat tentang masa depan kepemimpinan dalam federasi olahraga nasional. Kini tantangannya adalah bagaimana gagasan tentang pembatasan masa jabatan ini dapat diinstitusionalisasi dalam bentuk peraturan yang sah dan mendapat dukungan dari seluruh pemangku kepentingan sepak bola di Indonesia. Jika ini berhasil diwujudkan, bukan tidak mungkin PSSI akan menjadi contoh bagi organisasi olahraga lain dalam membangun tata kelola yang bersih, transparan, dan demokratis.