JAKARTA - Rosé, salah satu anggota girl group ternama BLACKPINK, kembali menjadi sorotan publik internasional. Kali ini, perbincangan bukan soal prestasinya di panggung musik global, melainkan tuduhan kontroversial yang menyebut bahwa dirinya mempromosikan standar kecantikan Barat, terutama karena pilihan gaya rambut pirangnya dan langkah strategis dalam karier musiknya.
Isu ini mencuat ke permukaan setelah sejumlah pengguna media sosial mengkritik penampilan Rosé yang konsisten dengan rambut pirangnya sejak debut bersama BLACKPINK. Tak sedikit yang menilai bahwa penampilan tersebut mencerminkan kompleks inferioritas terhadap warna kulit dan menjadi simbol dukungan terhadap standar kecantikan Barat yang cenderung mengglorifikasi kulit putih dan ciri fisik Eropa.
Namun di sisi lain, para penggemar setia Rosé dengan cepat membela sang idola. Mereka menegaskan bahwa gaya rambut pirang Rosé bukanlah bentuk adopsi buta terhadap budaya Barat, melainkan bagian dari identitas visual yang telah dibangunnya sejak awal karier.
“Rosé hanya ingin memperluas kariernya secara global!” tulis salah seorang penggemar di platform X (dulu Twitter).
Dituduh Punya Kompleks Kulit Putih
Rosé, yang lahir di Selandia Baru dan dibesarkan di Australia, memang dikenal luas sebagai artis K-pop dengan latar belakang barat yang kuat. Gaya bicaranya yang fasih berbahasa Inggris dan kebiasaan tampil dengan rambut pirang membuat sebagian warganet menyimpulkan bahwa Rosé terlalu mengarah pada standar kecantikan non-Asia.
Sejumlah warganet bahkan menyebut Rosé mengidap white skin complex atau kompleks inferioritas terhadap kulit gelap. Tuduhan ini menguat setelah Rosé memutuskan untuk memindahkan hak cipta musiknya dari Korea Selatan ke Amerika Serikat, tepatnya dari Korean Music Copyright Association (KOMCA) ke dua organisasi hak cipta besar di AS, yaitu American Society of Composers, Authors and Publishers (ASCAP) dan Broadcast Music, Inc. (BMI).
Langkah tersebut dianggap tidak biasa, bahkan oleh standar industri K-pop, mengingat hanya segelintir artis besar seperti Seo Taiji yang pernah melakukan hal serupa pada tahun 2002.
Langkah Strategis Menuju Pasar Internasional
Meski mendapat kritikan, banyak pihak menilai langkah Rosé sebagai strategi cerdas untuk memperluas pengaruh dan jangkauan musiknya secara global. Industri musik Amerika Serikat dikenal memiliki sistem yang lebih terstruktur dan peluang yang lebih besar untuk artis yang ingin menembus pasar internasional.
Dalam konteks ini, latar belakang Rosé sebagai individu yang tumbuh dan dididik di lingkungan Barat menjadi salah satu faktor pendorong keputusan tersebut. Rosé dinilai tidak sekadar mengikuti tren, tetapi memahami arah perkembangan kariernya secara mendalam.
“Langkah Rosé memindahkan hak cipta ke ASCAP dan BMI seharusnya dipahami sebagai bagian dari strategi globalisasi karier. Bukan berarti dia meninggalkan Korea,” tulis seorang pengamat musik dalam laporan Pinkvilla.
Bangga dengan Warisan Korea
Terlepas dari tuduhan dan debat yang berkembang, Rosé berkali-kali menegaskan bahwa ia sangat mencintai budaya Korea. Dalam berbagai wawancara, ia selalu menonjolkan aspek budaya Korea, baik melalui makanan favoritnya, gaya berpakaian, hingga musik yang dibawakannya.
“Aku suka makanan Korea dan selalu bangga jadi orang Korea,” ujar Rosé dalam sebuah wawancara terdahulu yang dikutip kembali oleh media hiburan internasional.
Pernyataan ini menjadi penegasan bahwa meski ia mengembangkan kariernya secara global dan membawa gaya Barat dalam penampilannya, Rosé tetap menjunjung tinggi identitas dan asal-usulnya sebagai bagian dari budaya Korea.
Debat Tak Kunjung Usai di Media Sosial
Kontroversi ini sontak memicu perdebatan panjang di jagat maya. Di satu sisi, kritikus menilai bahwa langkah Rosé justru mencerminkan kecenderungan selebritas Asia yang terlalu mengedepankan estetika Barat dan perlahan menjauh dari akarnya. Sementara di sisi lain, para penggemar dan pendukung menyatakan bahwa identitas seorang artis tidak bisa dilihat hanya dari warna rambut atau lokasi hak cipta karya musiknya.
Para BLINK — sebutan untuk penggemar BLACKPINK — menyuarakan bahwa tuduhan terhadap Rosé cenderung mengabaikan kompleksitas pilihan pribadi seorang artis. Mereka menekankan pentingnya memahami konteks budaya, pasar industri hiburan, serta strategi yang diambil untuk bertahan di tengah persaingan global.
“Rosé hanya menyeimbangkan identitas Korea dengan karier globalnya,” kata salah seorang penggemar dalam unggahan media sosialnya.
Banyak pengamat budaya pop Asia juga menyuarakan opini serupa. Mereka menilai bahwa transformasi artis K-pop seperti Rosé tidak bisa dilihat sebagai bentuk pengkhianatan budaya, melainkan sebagai adaptasi terhadap realitas industri global yang menuntut fleksibilitas dan inovasi.
Fenomena Globalisasi dan Kecantikan yang Beragam
Kasus Rosé ini mencerminkan dilema yang lebih luas di dunia hiburan global, di mana artis dari negara Asia kini mulai merambah ke panggung internasional dan menghadapi tekanan untuk menyesuaikan diri dengan berbagai standar kecantikan dan ekspresi budaya.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendalam tentang bagaimana seharusnya artis Asia memposisikan diri di tengah tuntutan pasar global tanpa kehilangan identitas kulturalnya. Dalam kasus Rosé, sebagian pihak melihat justru ia berhasil menyeimbangkan dua sisi identitas tersebut sebagai representasi K-pop dan sekaligus simbol artis global.
Kontroversi seputar Rosé BLACKPINK menunjukkan bahwa dalam era globalisasi industri hiburan, setiap langkah artis dapat dengan cepat menjadi sorotan dan perdebatan publik. Tuduhan bahwa Rosé mendukung standar kecantikan Barat karena rambut pirangnya dan kepindahan hak cipta ke AS dinilai sebagian pihak sebagai bentuk salah paham terhadap strategi dan identitas sang artis.
Dengan tetap menegaskan kecintaannya pada Korea, serta keinginan untuk membawa musiknya menjangkau lebih banyak pendengar di dunia, Rosé menunjukkan bahwa menjadi artis global bukan berarti meninggalkan akar budaya. Sebaliknya, ia tengah membuka jalan bagi artis Asia untuk hadir dan bersaing di panggung internasional tanpa harus kehilangan siapa dirinya.