BUMN

Siapa yang Berwenang Memberi Tugas kepada Holding BUMN? Menelisik Ambiguitas dalam UU BUMN yang Baru

Siapa yang Berwenang Memberi Tugas kepada Holding BUMN? Menelisik Ambiguitas dalam UU BUMN yang Baru
Siapa yang Berwenang Memberi Tugas kepada Holding BUMN? Menelisik Ambiguitas dalam UU BUMN yang Baru

JAKARTA - Reformasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia memasuki babak baru yang penuh tantangan. Dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 19 Tahun 2003, transformasi BUMN kini memiliki kerangka hukum yang lebih jelas, khususnya melalui pembentukan dua jenis holding yang baru: Holding Investasi dan Holding Operasional. Kedua jenis holding ini diharapkan mampu mendorong efisiensi, mengoptimalkan aset, serta meningkatkan kontribusi BUMN terhadap perekonomian nasional.

Namun, meski semangat reformasi ini sangat kuat, terdapat masalah mendasar yang muncul dalam implementasi praktisnya, yaitu mengenai siapa yang berwenang memberi tugas kepada kedua jenis holding tersebut. Hal ini menjadi topik yang menarik dan penuh tanda tanya, terutama karena adanya ketidakjelasan dalam pengaturan wewenang yang tercantum dalam UU tersebut.

Ambiguitas dalam Pembentukan Holding Investasi dan Holding Operasional

Salah satu aspek yang menimbulkan kebingungan terletak pada Pasal 1 angka 24 UU Nomor 1 Tahun 2025 yang mendefinisikan Holding Investasi sebagai BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia dan Badan, dengan tugas utama mengelola dividen, pemberdayaan aset BUMN, serta melaksanakan "tugas lain yang ditetapkan oleh Menteri dan/atau Badan." Kalimat "dan/atau" ini membuka peluang untuk multitafsir. Apakah ini berarti tugas tambahan bisa diberikan secara independen oleh Menteri atau Badan, ataukah keduanya harus bekerja sama dalam menetapkan tugas tersebut?

Menurut para pakar hukum dan tata kelola BUMN, ambiguity ini berpotensi memunculkan ketidakpastian dalam implementasi kebijakan, karena tidak ada kejelasan apakah tugas tambahan harus ditentukan secara bersama oleh Menteri dan Badan, ataukah bisa ditetapkan secara sepihak oleh salah satu pihak.

“Ketidakjelasan ini bisa menimbulkan tarik-menarik antara Menteri dan Badan, yang pada akhirnya mempengaruhi prioritas dan keputusan strategis di lapangan. Ini bisa menciptakan ketegangan, apalagi jika ada perbedaan pandangan antara kedua pihak,” kata Prof. Dr. Hadi Kusumo, pakar tata kelola BUMN di Universitas Indonesia.

Ketidakjelasan Tugas pada Holding Operasional

Persoalan serupa juga terjadi dalam pengaturan Holding Operasional. Dalam Pasal 3AK ayat (2) huruf b, disebutkan bahwa Holding Operasional memiliki tugas untuk "melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh Menteri atau Badan." Formulasi ini membuka peluang untuk tumpang tindihnya wewenang antara Menteri dan Badan, bahkan pada level holding yang mengelola operasional BUMN di berbagai sektor.

Apabila Menteri dan Badan memiliki pandangan yang berbeda mengenai arah kebijakan atau tugas yang harus dijalankan oleh Holding Operasional, hal ini dapat memunculkan kebingungan di lapangan. Ketidakjelasan mengenai siapa yang memiliki kewenangan utama dalam menetapkan tugas-tugas tersebut bisa memengaruhi kinerja BUMN, serta memperlambat pengambilan keputusan yang penting.

Implikasi Ketidakjelasan Otoritas Bagi Tata Kelola BUMN

Ketidakjelasan otoritas ini berpotensi membawa dampak yang sangat serius, baik dari sisi tata kelola maupun sisi hukum. Dari segi tata kelola, dualitas otoritas antara Menteri dan Badan dapat menciptakan ketidakpastian dalam menetapkan prioritas dan arah kebijakan, terutama jika ada perbedaan pandangan atau instruksi yang datang dari kedua pihak tersebut.

“Dualisme otoritas seperti ini dapat menciptakan kebingungan yang mengganggu stabilitas dan kelancaran operasional BUMN. Sebagai contoh, jika tugas yang diberikan Menteri bertentangan dengan instruksi dari Badan, maka bisa terjadi kebingungan dalam implementasi tugas dan pengambilan keputusan yang penting,” tambah Prof. Hadi.

Dari sisi hukum, ketidakjelasan ini berpotensi menimbulkan sengketa administratif. Misalnya, apabila Holding Investasi atau Holding Operasional merasa bahwa tugas yang diberikan oleh Menteri atau Badan melampaui kewenangan yang diatur dalam undang-undang, mereka bisa menggugat melalui jalur hukum, yang pada akhirnya bisa berujung pada sengketa di pengadilan korporasi. Hal ini tentu saja dapat mengganggu efisiensi dan kinerja holding yang seharusnya bergerak cepat dalam mengelola aset negara dan mencapai tujuan ekonomi yang lebih besar.

Perlunya Kejelasan dalam Pembagian Wewenang

Reformasi BUMN yang diusung dalam UU Nomor 1 Tahun 2025 memang sudah mengarah pada pemisahan fungsi regulator dengan operator, seperti yang terlihat dari pembentukan Badan Pengelola Investasi. Badan ini bertugas untuk mengelola investasi BUMN secara lebih profesional dan terpisah dari pengaturan kebijakan oleh pemerintah.

Namun, jika pasal-pasal terkait pemberian tugas kepada Holding Investasi dan Holding Operasional tetap terbuka untuk multitafsir, maka semangat reformasi tersebut bisa tereduksi oleh ketidakpastian hukum yang berpotensi menghambat implementasi kebijakan.

Seharusnya, agar proses ini berjalan lancar, UU perlu mengatur secara lebih tegas mekanisme koordinasi antara Menteri dan Badan Pengelola Investasi. Sebagai contoh, tugas tambahan sebaiknya diberikan berdasarkan persetujuan bersama antara Menteri dan Badan, bukan berdasarkan keputusan sepihak dari salah satu pihak saja. Ini akan memperjelas garis otoritas yang jelas dan mengurangi risiko konflik yang dapat merugikan operasional BUMN.

Pentingnya Kepastian Hukum untuk Kemajuan Ekonomi

Pertanyaan mengenai siapa yang berwenang memberi tugas kepada Holding BUMN bukan hanya sekadar masalah teknis tata kelola, melainkan menyentuh pada inti konsistensi reformasi BUMN itu sendiri. Tanpa kejelasan otoritas yang dapat dijalankan dengan transparan dan terkoordinasi dengan baik, maka potensi besar yang dimiliki Holding BUMN sebagai motor penggerak ekonomi nasional bisa terganggu oleh tarik-menarik kekuasaan yang tidak produktif.

Ketidakjelasan ini mengancam kelancaran implementasi reformasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan kinerja BUMN dan meningkatkan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, sangat penting untuk segera mengatasi ambiguitas dalam UU ini agar tugas Holding BUMN dapat dilaksanakan dengan lebih terarah dan profesional.

Dengan adanya aturan yang lebih tegas dan jelas mengenai pembagian tugas antara Menteri dan Badan Pengelola Investasi, diharapkan BUMN dapat lebih efektif dalam menjalankan fungsinya, baik sebagai pengelola aset negara maupun sebagai pendorong utama dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Pentingnya kejelasan dalam pembagian wewenang antara Menteri dan Badan Pengelola Investasi tidak bisa dipandang sebelah mata. Tanpa kejelasan otoritas ini, BUMN berisiko terjebak dalam konflik internal yang bisa memperlambat kemajuan yang diinginkan. Untuk itu, perlu ada pembaruan dan penegasan dalam Undang-Undang yang mengatur hal ini, agar semangat reformasi BUMN dapat benar-benar terwujud dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih baik bagi Indonesia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index