Jepang

Populasi Anak di Jepang Terus Menurun, Cetak Rekor Terendah Sejak 1950 Meski Pemerintah Gencar Luncurkan Kebijakan Dukungan Keluarga

Populasi Anak di Jepang Terus Menurun, Cetak Rekor Terendah Sejak 1950 Meski Pemerintah Gencar Luncurkan Kebijakan Dukungan Keluarga
Populasi Anak di Jepang Terus Menurun, Cetak Rekor Terendah Sejak 1950 Meski Pemerintah Gencar Luncurkan Kebijakan Dukungan Keluarga

JAKARTA - Jepang kembali mencatatkan penurunan jumlah anak dalam populasinya untuk tahun ke-44 secara berturut-turut, menandai tren demografis yang semakin mengkhawatirkan bagi negara dengan tingkat kelahiran terendah di dunia. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang pada Minggu, 5 Mei 2025, jumlah anak berusia di bawah 15 tahun tercatat hanya sebesar 13,66 juta jiwa—termasuk warga negara asing yang menetap di Jepang. Angka ini turun sekitar 350 ribu dibandingkan tahun lalu, dan menjadi jumlah terendah sejak data demografi anak pertama kali dicatat pada 1950.

Penurunan tersebut bukan hanya mencerminkan jumlah kelahiran yang kian menyusut, tetapi juga memengaruhi rasio anak terhadap keseluruhan populasi nasional. Saat ini, rasio tersebut berada pada angka 11,1 persen, turun 0,2 poin persentase dari tahun sebelumnya, sekaligus mencetak rekor sebagai rasio terendah dalam sejarah Jepang modern.

Lebih lanjut, data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa Jepang menempati posisi kedua dengan rasio anak terendah di antara 37 negara berpenduduk lebih dari 40 juta jiwa. Jepang hanya berada sedikit di atas Korea Selatan, yang memiliki rasio anak sebesar 10,6 persen. Ini menunjukkan bahwa Jepang kini menghadapi krisis demografi yang sangat serius dan berpotensi berdampak besar terhadap keberlanjutan sosial dan ekonomi jangka panjang.

Pemerintah Jepang sendiri telah menyadari urgensi situasi ini dan meluncurkan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan angka kelahiran. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari peningkatan bantuan keuangan bagi rumah tangga yang memiliki anak, ekspansi layanan penitipan anak, hingga penerapan kebijakan kerja fleksibel untuk mendukung para orang tua bekerja.

“Pemerintah telah menempatkan isu penurunan angka kelahiran sebagai prioritas nasional. Kami menyediakan dukungan ekonomi dan memperluas akses layanan agar masyarakat tidak ragu memiliki anak,” ungkap perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang dalam keterangan resmi seperti dikutip dari JapanToday.

Namun, meski sejumlah inisiatif telah digulirkan selama bertahun-tahun, hasilnya masih jauh dari harapan. Data terbaru menunjukkan bahwa berbagai program tersebut belum mampu menghentikan laju penurunan jumlah anak di Jepang. Secara gender, populasi anak laki-laki di Jepang tercatat sebanyak 6,99 juta, sementara anak perempuan berjumlah 6,66 juta.

Bila dilihat berdasarkan kelompok usia, jumlah anak terbanyak berada di rentang usia 12 hingga 14 tahun dengan total 3,14 juta jiwa. Sementara itu, kelompok anak termuda, yaitu usia 0 hingga 2 tahun, hanya berjumlah 2,22 juta jiwa sebuah indikator bahwa tren penurunan kelahiran masih terus berlanjut dan belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan.

Penurunan populasi anak bukanlah fenomena baru di Jepang. Sejak mencapai puncaknya pada tahun 1954 dengan jumlah 29,89 juta anak, populasi anak terus mengalami penurunan. Bahkan, ledakan kelahiran kedua yang terjadi pada periode 1971 hingga 1974 hanya mampu memperlambat penurunan tersebut dalam jangka pendek.

Kondisi ini makin diperparah oleh kenyataan bahwa seluruh prefektur di Jepang mengalami penurunan jumlah anak per 1 Oktober tahun lalu. Tidak ada satu pun dari 47 prefektur yang menunjukkan pertumbuhan populasi anak. Bahkan, hanya Tokyo dan Prefektur Kanagawa yang masih mencatat jumlah anak lebih dari satu juta jiwa.

“Data ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi kita semua. Jika tidak segera diambil tindakan luar biasa, Jepang berisiko mengalami penurunan jumlah penduduk secara signifikan, yang akan berdampak luas terhadap produktivitas, daya saing ekonomi, dan keberlangsungan sistem sosial,” ujar seorang pakar demografi dari Universitas Tokyo.

Tren penyusutan ini juga telah menimbulkan berbagai kekhawatiran di kalangan pelaku industri, pemerintah daerah, serta sektor pendidikan dan kesehatan. Minimnya jumlah anak membuat banyak sekolah terpaksa digabungkan bahkan ditutup, tenaga pengajar kehilangan pekerjaan, dan infrastruktur publik yang dulunya dirancang untuk populasi besar kini menjadi tidak relevan.

Selain itu, implikasi jangka panjang dari populasi anak yang terus menurun adalah meningkatnya beban generasi muda di masa depan untuk menopang sistem pensiun dan perawatan lansia yang semakin membengkak. Ini membuat keseimbangan ekonomi antar generasi menjadi semakin timpang.

Masyarakat Jepang juga menunjukkan kecenderungan untuk menikah lebih lambat atau tidak menikah sama sekali, serta menunda atau bahkan memilih untuk tidak memiliki anak. Faktor seperti ketidakstabilan pekerjaan, mahalnya biaya hidup dan pendidikan, serta tekanan sosial terhadap peran gender juga dianggap sebagai penyebab utama rendahnya tingkat kelahiran.

“Saat ini kami sedang berupaya menciptakan lingkungan di mana anak muda bisa membangun rumah tangga dengan lebih percaya diri dan merasa aman secara ekonomi. Namun, perubahan ini butuh waktu dan kerja sama dari seluruh elemen masyarakat,” terang pejabat Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang dalam pernyataannya.

Meski tantangan yang dihadapi sangat kompleks, para ahli mendesak agar Jepang tidak menyerah dan terus mencari strategi yang lebih inovatif dan berkelanjutan untuk mengatasi krisis demografis ini. Jepang, yang selama puluhan tahun dikenal sebagai negara maju dengan sistem sosial yang kuat, kini dihadapkan pada pertanyaan eksistensial mengenai masa depannya sebagai bangsa yang menua dengan cepat namun tidak mampu melahirkan generasi penerus dalam jumlah cukup.

Dengan tren seperti ini, masa depan Jepang akan sangat ditentukan oleh keberhasilan pemerintah dan masyarakat dalam mengubah paradigma mengenai keluarga, pekerjaan, dan peran perempuan dalam masyarakat. Jika tidak, bukan tidak mungkin Jepang akan menghadapi masa depan yang penuh tantangan sebagai negara yang semakin menua dan menyusut.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index