JAKARTA - Transportasi online di Indonesia telah mengubah wajah mobilitas masyarakat sejak hadir lebih dari satu dekade lalu. Layanan-layanan populer seperti Gojek dan Grab kini tidak hanya memudahkan aktivitas sehari-hari, tetapi juga menjadi tulang punggung ekonomi informal dan digital yang menghubungkan jutaan pengemudi dan pengguna.
Namun di balik kemudahan yang ditawarkan, muncul persoalan mendasar yang kian sulit diabaikan: dominasi perusahaan transportasi online di sektor vital yang menyangkut hajat hidup orang banyak, tanpa adanya tanggung jawab hukum dan sosial yang jelas kepada negara maupun publik.
Dominasi Transportasi Online: Infrastruktur Sosial Baru
Data resmi Kementerian Perhubungan per Desember 2023 mencatat lebih dari 3,1 juta mitra pengemudi aktif di seluruh Indonesia. Sedangkan jumlah pengguna aktif bulanan aplikasi seperti Gojek dan Grab mencapai 38 juta dan 34 juta orang, berdasarkan laporan App Annie dan data internal perusahaan. Angka ini memperlihatkan betapa luas dan dalam pengaruh transportasi online dalam kehidupan masyarakat.
“Transportasi online sudah bukan sekadar layanan komersial, melainkan bagian dari infrastruktur sosial dan ekonomi yang menopang mobilitas, distribusi barang, hingga pekerjaan bagi jutaan orang,” kata Rizal Hamzah, pengamat transportasi dan kebijakan publik dari Lembaga Studi Transportasi Indonesia (LSTI).
Dengan skala sebesar ini, sektor transportasi online bisa dikategorikan sebagai “sektor vital” yang menguasai hajat hidup orang banyak. Namun, kenyataannya regulasi dan pengawasan yang ada belum mampu mengatur perusahaan-perusahaan ini secara efektif.
Konflik Mitra Pengemudi dan Lemahnya Intervensi Negara
Sepanjang 2023 hingga 2024, berbagai gelombang aksi protes mitra pengemudi terjadi di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Bandung, Medan, dan Makassar. Tuntutan utama mereka berfokus pada penurunan tarif insentif yang dinilai merugikan, peningkatan potongan komisi oleh perusahaan, serta ketiadaan jaminan perlindungan sosial seperti asuransi dan jaminan hari tua.
Berbagai mediasi yang difasilitasi pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan, Kominfo, dan DPR RI sering berujung tanpa hasil konkret. Pada Oktober 2023, mediasi besar di Jakarta berakhir buntu karena perusahaan transportasi online menolak tunduk pada kewajiban hukum untuk melindungi mitra pengemudi secara memadai. Mereka berpegang pada posisi sebagai entitas bisnis swasta yang beroperasi berdasarkan mekanisme pasar bebas.
“Ini adalah kegagalan negara yang paling mencolok dalam mengelola sektor vital. Negara kehilangan peran sebagai pengelola dan pelindung hajat hidup orang banyak, padahal mandat konstitusi sudah sangat jelas,” kata Prof. Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Amanat Konstitusi: Pasal 33 UUD 1945
Pasal 33 UUD 1945 Ayat (2) menyatakan, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Ayat (3) menegaskan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
Dalam tafsir konstitusional modern, tidak hanya sumber daya alam, melainkan juga sektor digital dan layanan publik berbasis teknologi merupakan bagian dari hajat hidup orang banyak. Ini berarti negara seharusnya mengambil peran pengelolaan yang kuat atas layanan transportasi online.
“Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan sektor strategis seperti ini sepenuhnya kepada mekanisme pasar, apalagi ketika melibatkan jutaan rakyat yang menggantungkan hidup pada sektor tersebut,” ujar Jimly dalam wawancara tahun 2021 yang dipublikasikan Tempo.
Dua Jalan Konstitusional: Nasionalisasi atau BUMN Digital
Untuk menuntaskan persoalan ini, negara sebenarnya memiliki dua opsi konstitusional yang dapat ditempuh:
Nasionalisasi langsung: Mengambil alih kepemilikan dan kontrol atas perusahaan transportasi online yang telah menguasai sektor vital, sekaligus menegakkan perlindungan sosial dan tanggung jawab publik.
Pendirian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) transportasi digital: Membentuk perusahaan milik negara yang dapat berperan sebagai pesaing sekaligus regulator pasar, dengan fokus pada pelayanan publik dan kesejahteraan mitra pengemudi.
Nasionalisasi bukanlah penolakan terhadap investasi atau keberadaan swasta. Ini adalah koreksi terhadap liberalisasi yang berlebihan demi mengembalikan kontrol sektor vital kepada negara untuk kepentingan rakyat.
“Nasionalisasi bukan soal mencari keuntungan, melainkan memastikan keadilan sosial dan keberlanjutan sistem yang selama ini diabaikan,” ujar Rizal Hamzah.
Kedaulatan Ekonomi Rakyat yang Terancam
Fenomena transportasi online saat ini adalah gambaran privatisasi sektor publik yang tidak terkendali. Negara menyerahkan terlalu banyak pengelolaan kepada pasar, lalu terkejut ketika perusahaan swasta tidak bertanggung jawab penuh terhadap nasib jutaan mitra pengemudi.
“Jutaan orang menggantungkan hidup pada platform digital, namun platform tersebut tidak memiliki kewajiban moral dan hukum yang memadai untuk melindungi mereka,” tegas Prof. Jimly Asshiddiqie.
Kondisi ini mengancam kedaulatan ekonomi rakyat dan menimbulkan ketidakadilan sosial yang serius. Sudah saatnya negara mengambil peran yang lebih aktif, tegas, dan konstitusional dalam mengelola layanan transportasi online.
Peran Negara: Lebih dari Sekadar Pengawas
Mengelola sektor strategis seperti transportasi online harus dilakukan negara bukan dengan cara represif, melainkan melalui kebijakan yang transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
“Jika layanan transportasi publik berbasis digital sudah menjadi kebutuhan dasar, maka pengelolaannya harus berada di tangan negara, bukan pasar yang hanya mengejar keuntungan semata,” jelas Rizal Hamzah.
Langkah ini akan menjamin bahwa layanan transportasi online tidak semata-mata komoditas, melainkan hak publik yang harus dilindungi secara penuh oleh negara sesuai amanat konstitusi.
Transportasi online sudah menjadi bagian dari hajat hidup orang banyak di Indonesia. Namun, dominasi sektor ini tanpa pengelolaan dan tanggung jawab negara berpotensi merugikan jutaan mitra pengemudi dan masyarakat luas. Dengan landasan konstitusional yang kuat, negara harus mengambil peran strategis dalam mengelola dan mengawasi sektor ini agar sesuai dengan prinsip keadilan sosial dan kemakmuran rakyat.