JAKARTA - Jepang, negara yang dikenal sebagai salah satu wilayah paling rawan gempa bumi di dunia, kini telah mengintegrasikan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dalam sistem peringatan dini gempa mereka, J-Alert. Dengan bantuan AI, sistem ini mampu memberikan notifikasi kepada masyarakat sekitar 3-5 detik sebelum gempa mencapai wilayah tertentu. Langkah inovatif ini terbukti sangat efektif dalam mengurangi korban jiwa dan kerusakan akibat bencana gempa bumi.
Hal ini diungkapkan oleh Muhamad Hidayat, Head of Center for Crisis and Resilience Studies LSPR, dalam konferensi pers bertajuk "Membangun Budaya Tangguh Bencana" yang digelar di Hotel Santika Premiere Bintaro, Tangerang Selatan, Jumat, 23 Mei 2025. Menurut Hidayat, sistem peringatan dini merupakan fondasi utama untuk membangun budaya tangguh bencana di sebuah negara. Ia menekankan bahwa Indonesia dapat belajar banyak dari Jepang, khususnya dalam pengembangan sistem peringatan dini Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), termasuk penerapan teknologi AI.
"Indonesia sebenarnya sudah mulai menerapkan teknologi serupa, tetapi masih tertinggal dibandingkan Jepang dan negara-negara maju lainnya. Meski begitu, kami optimis karena saat ini sudah ada perbaikan dan pengembangan yang signifikan," ujar Hidayat.
Sistem J-Alert Jepang, kata Hidayat, memungkinkan pengiriman peringatan ke warga dalam hitungan detik sebelum gempa benar-benar tiba di lokasi mereka. Dengan edukasi yang sudah dilakukan secara intensif, masyarakat Jepang dapat segera melakukan tindakan penyelamatan diri. "Ketika sudah dilakukan edukasi ke masyarakat, mereka langsung menyelamatkan diri, dan ternyata itu sangat efektif dalam mengurangi korban jiwa," jelasnya.
Kekuatan AI dalam sistem J-Alert memang tidak hanya soal kecepatan, tetapi juga akurasi dalam memproses data gempa. Seperti terlihat dalam contoh gempa di kota Wajima, Prefektur Ishikawa, Jepang pada 1 Januari 2024, di mana kerusakan akibat gempa mampu diminimalisir karena respon cepat masyarakat yang sudah terbiasa dengan sistem peringatan tersebut.
Lebih lanjut, Hidayat menekankan bahwa meskipun waktu yang diperoleh hanya beberapa detik, dampaknya sangat besar. Jepang memiliki infrastruktur yang secara ketat harus memenuhi standar tahan gempa, dan masyarakatnya juga sangat disiplin mengikuti prosedur mitigasi bencana. "Jadi, ketika ada informasi gempa, mereka tidak lari ke mana-mana, mereka melindungi diri, fokus terhadap perlindungan yang sudah diajarkan," tambahnya.
Pentingnya edukasi bencana yang kuat, menurut Hidayat, juga menjadi pelajaran penting untuk Indonesia. Sebab, seperti Jepang, Indonesia berada di wilayah Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) yang rawan gempa dan letusan gunung berapi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, dari sekitar 75 ribu desa yang tersebar di seluruh nusantara, 52 ribu di antaranya masuk kategori rawan bencana. Bahkan, sebanyak 75 persen sekolah di Indonesia juga berada di zona rawan bencana.
Indonesia disebut Hidayat sebagai "laboratorium bencana" karena memiliki beragam jenis bencana, mulai dari hidrometeorologi hingga gempa bumi dan letusan gunung berapi. Oleh karena itu, ia menegaskan pentingnya membangun budaya tangguh bencana secara menyeluruh. "Pembangunan oleh pemerintah tidak boleh mengabaikan aspek mitigasi risiko bencana," tegasnya.
Dalam upaya meningkatkan sistem peringatan dini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Indonesia kini tengah mengembangkan System Processing (Sispro) Merah Putih yang mengusung teknologi berbasis AI. Dalam keterangannya pada 16 April 2025, BMKG menyatakan bahwa sistem ini bertujuan untuk meningkatkan kecepatan dan akurasi dalam memberikan informasi terkait gempa bumi dan tsunami.
Meski masih ada sejumlah hal teknis yang perlu disempurnakan, seperti peningkatan spesifikasi komputer dan proses simulasi, hampir seluruh fitur utama sistem Sispro telah mencapai tingkat kesiapan 100 persen. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menambahkan bahwa Sispro Merah Putih kini telah memasukkan faktor kedalaman sumber gempa sebagai dasar pemodelan tsunami, sebuah aspek yang sebelumnya belum terakomodasi secara menyeluruh dalam sistem lama.
“Kami sedang mengembangkan Sispro tahap kedua dengan memanfaatkan super komputer yang sudah kami siapkan khusus untuk proyek ini,” ujar Dwikorita.
Ia juga menegaskan bahwa pembangunan sistem peringatan dini ini bukanlah proyek instan melainkan sebuah investasi jangka panjang demi kemandirian dan keselamatan rakyat Indonesia. “Membangun sistem seperti ini adalah investasi jangka panjang dalam kemandirian dan keselamatan rakyat Indonesia,” katanya.
Pengembangan teknologi peringatan dini di Indonesia masih harus disertai dengan edukasi dan budaya tangguh bencana yang kuat di kalangan masyarakat. Hal ini menjadi tantangan besar mengingat kondisi geografis Indonesia yang rentan terhadap bencana alam. Diperlukan sinergi antara pemerintah, institusi pendidikan, dan komunitas agar masyarakat tidak hanya menerima informasi peringatan dini, tetapi juga mampu merespons dengan tepat dan cepat.
Keberhasilan Jepang dengan sistem J-Alert yang didukung AI dan kesiapan masyarakatnya menjadi contoh nyata yang dapat diadopsi Indonesia. Dengan waktu tanggap yang semakin singkat, meski hanya beberapa detik, korban jiwa dan kerusakan materi akibat gempa bisa diminimalisir secara signifikan.
Dalam rangka mewujudkan budaya tangguh bencana yang efektif, penguatan sistem peringatan dini dan edukasi masyarakat harus berjalan beriringan. Kesadaran dan kesiapsiagaan menjadi kunci utama dalam menghadapi bencana gempa bumi yang tidak dapat diprediksi dengan akurat jauh hari, tetapi bisa diperkirakan secara cepat dengan teknologi modern seperti AI.
Penerapan kecerdasan buatan dalam sistem peringatan dini gempa J-Alert di Jepang memberikan notifikasi 3-5 detik sebelum gempa datang, yang secara signifikan mengurangi risiko korban jiwa dan kerusakan. Indonesia, sebagai negara yang juga sangat rawan bencana, tengah berupaya mengembangkan teknologi serupa lewat sistem Sispro Merah Putih BMKG, meskipun masih dalam tahap pengembangan dan penyempurnaan. Kunci keberhasilan adalah perpaduan teknologi canggih dan edukasi masyarakat yang masif, sehingga budaya tangguh bencana dapat terbentuk dan memperkuat mitigasi risiko secara menyeluruh.
Dengan penguatan sistem dan budaya tersebut, Indonesia berharap bisa mengurangi dampak bencana gempa seperti yang telah dibuktikan oleh Jepang.